Tersebutlah seorang guru yang tengah mengadakan perjalanan dengan murid-muridnya ke sebuah gunung. Ia memerintahkan para murid untuk membawa batu. Ukuran batu diserahkan pada kesanggupan masing-masing murid. Perintah yang sedikit membingungkan ini ditaati dengan beragam oleh mereka. Alhasil batu yang mereka bawapun jadi sama sekali berbeda.
Murid yang agak bodoh namun taat, menyusahkan diri dengan membawa batu yang cukup besar. Pokoknya : aku dengar- aku taat, begitu pikir mereka. Sedangkan mereka yang merasa diri lebih cerdas, memilih membawa batu kegenggaman tangan, lengkap dengan semboyan : tulus seperti merpati, cerdik seperti ular. Sisanya, kaum kritis dan pesimis, memasukkan kerikil kedalam kantung mereka. Yang penting khan batu ?
Setelah melalui perjalanan panjang yang cukup melelahkan, akhirnya merekapun tiba dipuncak gunung. Lalu segera setelah itu. “Bim Salabim ! Abrakadabra !!!”. Sang Guru pun mengubah batu-batu yang dibawa oleh murid-muridnya itu menjadi madu. Madu hutan yang begitu manis dan menyegarkan.
Beberapa hari kemudian, perjalanan yang sama pun berulang. Sang Guru menyuruh mereka mendaki gunung yang sama, kali ini Sang Guru akan menyusul kemudian.
Belajar dari sebuah pengalaman, sebagian besar para muridpun memutuskan untuk membawa batu sebesar-besarnya. Kali ini tidak ada yang membawa batu segenggaman, apalagi kerikil dalam kantung. Namun aneh, murid-murid yang bodoh, tidak membawa secuil pasirpun.
“Kok nggak bawa ?”, tanya murid yang lain pada mereka.
“Habis, nggak disuruh”, jawab kelompok yang bodoh.
“Awas ya, jangan minta !”, timpal yang lain dengan senyum sinis.
Merekapun tiba dipuncak gunung. Setelah tiba disana, beberapa jam kemudian, Guru merekapun tiba. Sang Gurupun menyuruh para murid beristirahat sejenak, untuk kemudian melanjutkan perjalanan turun gunung dan kembali kerumah masing-masing.
Maka batu-batu besar itu tetap tinggal sebagai batu besar. Tidak ada madu, batu tetap batu. Menyakitkan bahu, memegalkan pinggang, membuat lutut gemetar, bibir menggerutu, serta menguras keringat dan nafas.
Segala kesuksesan dan pencapaian, kerap kali membanggakan dan membuat manusia lupa diri, begitu juga dengan diri ku pribadi. Hingga suatu saat seorang tua bijaksana namun nyentrik dan kaya raya, membisikkan wejangan ini padaku.
“Made, Anda lihat semua ini ? Seluruh pabrik, deretan mobil jaguar, super market ternama, berhektar-hektar tanah dan properti mewah. Semua kekayaan ini adalah pemberian.. Kerja keras, kecerdasan, ide-ide brilian dan keseluruhan yang orang namakan sebagai sebuah kesuksesan, bukanlah faktor penentu semua itu. Semua ini adalah sebuah pemberian dari NYA“
Apa ???!! Pemberian ? Yang bener aja !!
Baru saja orang tua itu bicara soal bagaimana ia terpaksa harus menjadi tukang batu untuk memberikan sepiring nasi untuk istrinya. Lalu betapa susahnya menjajakan telur, hasil ayam-ayam piaraannya, dari pintu-kepintu kepada para ekspatriat di Kemang sana. Kemudian tentang beberapa pelajaran dan kerugian yang harus ia tanggung, sebelum akhirnya kembali bangkit dan mengerjakan segala sesuatu dengan lebih berilmu. Dan sekarang beliau menyimpulkan semua ini adalah sebuah pemberian ???!!
Sebuah bahan renungan yang pantas untuk dikontemplasikan. Memang seringkali tangga kedewasan yang lebih tinggi akan menertawakan kekerdilan yang kita lakukan ditangga-tangga terbawah.
Apakah penambahan harta akan membawa bertambahnya kebahagiaan ?
Apakah seluruh pengejaran akan kesuksesan akan membawa ketentraman lahir bathin ?
Apakah ketenaran akan membawa kedekatan dann keteduhan dalam rumah tangga ?
Apakah kesibukan dan kerja keras akan membawa kesehatan ?
Sejak saat itu paradigma kesuksesan, keterkenalan dan kekayaan yang ku miliki mengalami revolusi luar biasa. Titik-titik beratnyapun berpindah tempat sedemikian rupa. Sehingga ide dasar yang dikatakan oleh orang tua itupun terkuak semakin jelas untuk dipahami.
Bahwa memang benar segala rejeki, kemuliaan dan harta yang berkah adalah pemberian dari NYA. Manusia sama sekali tidak pantas membusungkan dada akan segala yang ia miliki karena itu semua diijinkan mendekat dan kita miliki. Bahkan jika saat ini masih ada pelukan sayang yang teduh dari suami, istri, anak, ibu dan ayah, yang dapat kita rasakan adalah juga merupakan sebuah pemberian dari NYA
Dengan begitu, hidup ini akan menjadi serangkaian perjalanan yang begitu mengasyikkan ditemani Sang Pencipta, bukan sebuah pendakian gunung yang traumatis dan menegangkan, dengan memikul batu besar yang begitu berat dipundak. (*)
oleh Made Teddy Artiana
dari milis motivasi
No comments:
Post a Comment