Monday, July 30, 2012

Sepasang Tangan

Suatu hari, di kelas pada sebuah sekolah dasar, seorang guru memberi tugas kepada murid-muridnya. "Anak-anak, tugas hari ini menggambar bebas. Buatlah gambar atau benda apa saja yang kalian miliki. Misalnya rumah yang kamu tinggali, benda yang kamu sayangi, pemandangan alam yang indah, atau gambar apapun yang kamu inginkan. Bagaimana, sudah jelas kan? Sekarang, keluarkan alat-alat gambar dan segera mulai menggambar." Maka, anak-anak itu pun dengan gembira mulai mengeluarkan alat-alat gambarnya sambil berceloteh, saling melontarkan pertanyaan dan jawaban tentang benda apa yang akan digambarnya. Tidak lama kemudian, kelas pun berangsur tenang. Masing-masing anak segera sibuk dengan idenya, yang berusaha dituangkannya ke atas kertas gambar. Saat waktu yang diberikan untuk tugas selesai, sang guru meminta setiap anak, satu persatu, maju ke depan kelas untuk memperlihatkan gambarnya dan menceritakan secara singkat alasan mengapa dia menggambar itu. Ada berbagai gambar dan alasan yang dikemukakan anak-anak itu. Ada yang menjelaskan tentang gambar mobil, mainan, buah-buahan, pemandangan, dan lain sebagainya. Tiba saat giliran terakhir, seorang anak yang agak pemalu karena kakinya yang timpang ketika berjalan, maju ke depan kelas. Meski kurang sempurna cara berjalannya, dari hasil gambarnya nampak bahwa ia sangat pandai dalam melukis. Semua perhatian pun mendadak terarah kepada teman tersebut, karena mereka ingin tahu apa yang digambar seorang anak cacat dari keluarga miskin itu. Tak lama, si anak itu memperlihatkan gambarnya. Rupanya, ia menggambar sepasang tangan. Kelas pun akhirnya kembali ramai karena mereka bertanya-tanya mengapa si anak itu menggambar sepasang tangan. Apa maksudnya? Tangan siapa yang digambarnya? Tangannya sendiri atau tangan orang lain? Kenapa tangan yang digambar? Semua anak berusaha menebak gambar tangan siapa yang dilukis oleh temannya itu. Setelah memperhatikan gambar dengan saksama, ibu guru bertanya lembut, "Nak, tangan siapa yang kamu gambar ini?" Anak itu menjawab dengan suara pelan tetapi jelas, "Yang satu adalah gambar tangan ibuku, dan satu lagi gambar tangan ibu guru." "Kenapa kamu tidak menggambar tangan milikmu sendiri?" tanya sang guru lebih lanjut. "Gambar tangan itu memang bukan tanganku sendiri, Bu. Aku menyayangi dan mensyukuri tangan-tangan itu. Karena, sepasang tangan milik ibukulah yang menuntun, mengajari, dan melayani aku secara tulus sehingga aku bisa tumbuh menjadi seperti saat ini. Dan satu lagi, aku menggambar tangan ibu guru karena ibu gurulah yang mengajariku menulis dan melukis. Walaupun kaki saya timpang, tetapi tangan saya bisa menulis dan membuat lukisan yang indah. Terima kasih, Bu," ucap si anak tulus. Dengan mata berkaca-kaca, ibu guru menganggukkan kepala, "Terima kasih kembali, kamu memang anak yang mengerti dan pandai bersyukur". Kerabat Imelda.. Sungguh luar biasa sikap mental anak yang kakinya timpang, tetapi mampu mengungkapkan rasa terima kasih dan rasa syukur atas jasa orangtua dan gurunya, melalui lukisannya yang sederhana. Punya kaki timpang bukan berarti harus rendah diri. Cerminan nyata dalam kehidupan seperti itu bisa kita lihat dari fisikawan Steven Hawking. Ia adalah seorang yang cacat, lumpuh, bahkan kalau mau bicara harus menggunakan bantuan alat elektronik. Tetapi, dengan kemauannya yang keras dan semangatnya yang pantang menyerah, dia kini diakui sebagai ilmuwan besar abad ini. Meski cacat, ia mampu menjadi orang yang dihormati karena hasil penelitian dan pemikirannya. Apa yang dilakukan oleh Steven Hawking adalah gambaran sebuah keberanian sejati. Ia mensyukuri apapun keadaannya dengan tetap berkarya. Hal seperti itulah yang patut kita jadikan teladan. Kita perlu menanamkan sikap mental berani berubah untuk jadi lebih baik, apapun kondisi yang kita hadapi hari ini. Ayo, bangkit dari segala keterpurukan, ketimpangan, dan kekurangan! Bagi saya, merupakan suatu keberanian sejati jika kita mampu terus mengembangkan diri dan segera memulai dari apa adanya kita hari ini. Jadi, make it happen! Buat itu terjadi! Selalu miliki tekad kuat untuk berubah menjadi lebih baik, dari hari ke hari. Syukuri apapun yang kita miliki, dengan terus memaksimalkan potensi diri. Tingkatkan pula daya juang kehidupan dengan memelihara semangat pantang menyerah! Dengan begitu, hidup kita akan lebih bermanfaat. SUMBER:Andrie Wongso - andriewongso.com

Letakkan Semua Telur dalam Satu Keranjang

Andrew Carnegie pernah dinobatkan sebagai salah satu orang terkaya di dunia dan seorang industrialis sejati. Padahal ia bukanlah anak sekolahan dan bukan keturunan orang kaya. Ia mendapatkan pendidikannya bukan dari sekolah melainkan dari bekerja. Carnegie adalah imigran Skotlandia yang datang ke AS ketika usianya 13 tahun. Setelah tiba di AS ia bekerja di sebuah pabrik pembuatan benang di Pennsylvania. Tahun berikutnya ia pindah kerja sebagai pengantar telegram. Namun karena ingin meraih masa depan lebih baik ia pindah posisi menjadi operator telegram. Di sana ia banyak belajar. Tak lama ia pindah ke perusahaan kereta api di Pennsylvania dan menjadi asisten seorang top eksekutifnya bernama Thomas Scott. Dari Scott inilah ia belajar industri kereta api dan sekaligus belajar bisnis. Tiga tahun kemudian ia dipromosikan menjadi pengawas perjalanan kereta. Sambil bekerja ia mencoba investasi. Scottlah yang mengajarkannya. Carnegie menanamkan modal US$500 di perusahaan ekspedisi yang di antaranya melayani pengantaran telegram. Setelah itu ia investasi juga di beberapa perusahaan lain meski dengan jumlah saham kecil seperti di perusahaan mobil dan bahkan kereta api. Lama-lama investasinya terus meningkat. Sampai pada tahun 1864 ia sudah bisa menginvestasikan US$ 400.000 untuk membangun ladang minyak. Dari sinilah bisnisnya mulai tampak dan makin lama makin besar, sampai-sampai ia harus keluar dari perusahaan kereta api agar bisa konsentrasi mengurus bisnisnya. Setelah konsentrasi di bisnisnya, usahanya makin maju. Ia pun berkembang menjadi pengusaha sukses dan pernah dinobatkan menjadi salah satu orang terkaya di dunia. Apa rahasia suksesnya? Di antaranya ia menyebutkan fokus atau konsentrasi. "Konsentrasi adalah moto saya. Pertama kejujuran, kemudian industri, setelah itu konsentrasi," katanya. Ia memang dikenal sebagai seorang industrialis sejati dengan industri bajanya yang luar biasa. Tetapi ia punya nasihat lain. "Orang sukses adalah orang yang telah memilih satu jalan, dan terus fokus pada jalan itu," katanya. Itu berarti konsentrasi. Tentang konsentrasi ini pula ia dikenal dengan ungkapannya yang berikut. "Konsentrasikan energimu, pikiranmu, dan modalmu," katanya. "Orang bijak meletakkan semua telurnya dalam satu keranjang dan ia mengawasi keranjang itu," jelasnya. Jadi betapa pentingnya fokus atau konsentrasi. Dan dengan cara itu ia bisa melipatgandakan pendapatannya. Bayangkan, ketika ia mulai bekerja gajinya cuma US$ 1,2 per minggu. Dan beberapa tahun kemudian ia menjadi orang terkaya di dunia yang hanya bisa dikalahkan oleh John D. Rockefeller. Ketika ia meninggal tahun 1919 hartanya disumbangkan untuk mendirikan berbagai perpustakaan, sekolah, dan universitas di Amerika, Inggris dan negara-negara lain. Karena itu ia dikenal juga sebagai dermawan sejati. SUMBER:Tim AndrieWongso - andriewongso.com

Belajar Ikhlas Bersedekah Dari Seorang Anak

Bulan Ramadhan tiba, kita semua menyambutnya dengan riang gembira. Berbicara mengenai bulan Ramadhan, kita selalu dibiasakan untuk banyak bersedekah dengan ikhlas. Benar bukan? Sayangnya, seringkali ikhlas yang kita berikan kepada orang lain bukanlah ikhlas yang sesungguhnya. Mari baca pengalaman penulis dengan seorang anak berusia lima tahun berikut ini. Pada bulan Ramadhan tahun lalu, saya berkunjung ke rumah saudara yang memiliki seorang anak perempuan berusia lima tahun, namanya Amelia. Seperti anak-anak pada umumnya, Amelia dengan riang gembira bercerita bahwa dia sudah belajar puasa, walaupun hanya setengah hari. Bocah menggemaskan ini sangat menikmati masa-masa belajar berpuasa, juga saat saya dan ibunya mempersiapkan beberapa barang untuk disumbangkan pada salah satu panti asuhan. Saya sempat bertanya padanya, "Amelia, kita mau bersedekah, kalau bersedekah kita harus apa?" "Ikhlas," jawabnya dengan nada lucu. Saya tersenyum, karena memang itulah jawaban yang ingin saya dengar. Kemudian, percakapan saya bersama Amelia selanjutnya benar-benar mengubah pemahaman saya mengenai arti ikhlas. "Tante, aku mau menyumbangkan tas ini untuk teman-teman di panti asuhan." ujar Amelia sambil menyodorkan sebuah tas sekolah yang saya ketahui itu baru dibeli seminggu yang lalu. "Tapi Amelia, tas itu kan masih baru, kamu tidak sayang kalau tas itu diberikan ke orang lain?" tanya saya dengan nada heran. Biasanya anak-anak tidak suka jika harus menyerahkan barangnya, apalagi yang masih baru kepada orang lain yang tidak dikenal. "Amelia ikhlas kok, tante! Kata mama, kalau mau bersedekah itu harus ikhlas dan bermanfaat bagi yang menerima, masa sedekahnya tas yang sudah sobek dan kotor. Kalau tasnya masih bagus, pasti mereka lebih senang," ujar Amelia sambil tersenyum riang dan sangat yakin. "Nanti Amelia mau nabung buat beli tas baru, tas yang sekarang sudah sobek sedikit, tapi masih bisa dipakai kok," Ucapan itu seperti palu yang langsung menghantam hati saya. Ingatan saya langsung menembus berbagai sedekah yang sudah saya lakukan, yang sudah saya ikhlaskan. Tapi saya berpikir, apakah benar saya ikhlas? Atau saya ikhlas bersedekah karena barang yang saya sedekahkan sebenarnya barang yang sudah tidak saya butuhkan, bahkan beberapa tak layak. Baju yang saya sumbangkan selalu baju yang sudah tidak cukup saya pakai, sudah sobek di beberapa bagian, sudah lepas kancingnya, sudah pudar warnanya. Benda-benda yang saya sedekahkan mayoritas adalah benda yang sudah hilang fungsinya, baik sedikit atau seluruhnya. Dan ya, dengan jujur saya akui, seharusnya benda-benda itu saya buang ke tempat sampah untuk didaur ulang, bukan untuk diberikan pada orang lain yang memiliki kehidupan yang lebih sulit dari saya. Saya belajar dari Amelia, ikhlas yang sesungguhnya bukan ikhlas karena kita memberi barang yang hampir menjadi sampah kepada orang lain, tetapi kerelaan hati untuk berbagi sesuatu yang bermanfaat, sesuatu yang berguna, sesuatu yang bila bagi kita layak, maka orang lain juga layak mendapatkan hal yang sama. Jika saya layak memakai baju baru, orang lain (yang selalu saya anggap rendah karena miskin) juga layak memakai baju baru yang sama, dari tangan-tangan kita. Bukan baju bekas yang sudah hilang kancingnya. Semoga kisah ini membuka pikiran dan hati kita dan semoga Ramadhan tahun ini membawa berkah pada kita semua. SUMBER:Evania G. Amanda - kapanlagi.com

Jadilah Air Untuk Mengikis Batu

Kita harus menjadi air untuk mengikis sebuah batu... Kaum adam yang mengagumkan, dan cenderung punya pribadi yang sekeras batu. Tak jarang kita akhirnya beradu pendapat karena punya pikiran yang berbeda. Saat kita memulaskan makeup untuk tampil cantik, mereka berargumen semua itu palsu. Menutup setiap kecantikan alami dan tak sedap dipandang. Di sisi lain, kita sendiri merasa makeup itu sama pentingnya seperti pakaian. Menyempurnakan setiap kecantikan alami. Ada pula argumen berbeda, tentang apa itu romantis dan bagaimana bersikap romantis. Atau argumen tentang harus membawakan tas belanjaan atau tidak. (Anda tentu jauh lebih tahu argumen apa saja yang sempat hadir di dalam hubungan) Dan apa jadinya jika kita bersikukuh saling mengadu pendapat? Sama halnya seperti ketika batu diadu dengan batu. Keduanya sama kerasnya. Jika diadu, bisa jadi keduanya sama utuh. Atau malah berakhir keduanya pecah menjadi puing batu. Sama-sama terluka. Begini cara membentuk batu... Jadilah air, kikislah, bentuk menjadi pribadi keras yang sejalan dengan Anda. Bukan dengan cara keras yang membuat keduanya terluka. Namun dengan kesabaran, ketulusan, kesepakatan, dan ketekunan dari waktu ke waktu. Lihat saja batu kali itu, tak ada yang merasa terganggu dengan aliran air sungai. Sekalipun deras aliran airnya, atau tenang selembut kalbu, bebatuan itu tak pernah keberatan dikikis dan dibentuk setiap harinya. Bahkan senantiasa berdiri kokoh di sana, menunggu aliran air datang dari hulu ke hilir. Begini cara menjadi air... Tidak mudah kami katakan. Banyak yang jatuh bangun saat mencobanya. Tetapi kami juga akan mengatakan, Anda bisa bila mau mencoba. Tak hanya cukup mengetahui hak dan kewajiban sebagai seorang wanita, kita juga harus bisa menyeimbangkannya. Tahu kapan saat berbicara, tahu kapan saat mendengar. Berpikir dari sisi pria, dan bersikap manis seperti seorang wanita. Tahu bagaimana cara memakai makeup yang cerdas, dan bukan sekedar memakai topeng kecantikan. Tahu kapan saatnya merajuk. Dan bersikap tegas serta mandiri. Tahu kapan saatnya ingin dipeluk. Dan selalu menyediakan bahu saat ia juga butuh bersandar. Tahu bagaimana menjadi wanita pekerja keras. Namun juga lemah lembut serta piawai menyajikan makanan di dapur. Tahu bagaimana bersikap tegas. Sekaligus lemah lembut keibuan. Seperti yang kami katakan, ini tidak akan mudah. Tetapi, apabila Anda tak mencobanya. Bagaimana Anda bisa tahu kalau cara ini tidak akan berhasil? SUMBER:Agatha Yunita - kapanlagi.com

Gunung Es yang Mencair

Alkisah, ada sebuah kelas yang pesertanya sebagian besar terdiri dari kaum laki-laki berusia 35 tahunan. Nah hari itu, sang pengajar memberikan sebuah tugas unik. Yaitu, peserta harus menyatakan kasih mereka pada seseorang. Seseorang ini haruslah orang yang tidak pernah menerima kasih dari mereka atau setidaknya orang yang sudah lama sekali tidak menerima kasih dari mereka. Memang kelihatannya tugasnya tidak terlalu sulit. Tapi ingatlah, rata-rata peserta adalah laki-laki yang berasal dari generasi yang diajarkan bahwa ekspresi perasaan tidak patut dilakukan seorang laki-laki. Jadi bisa dikatakan, bagi sebagian peserta, tugas ini menjadi tantangan tersendiri. Pada kelas di minggu berikutnya, setiap peserta diberi kesempatan untuk membagi pengalaman mereka dalam menjalankan tugas unik itu. Tak disangka, yang berdiri adalah peserta laki-laki. Setelah sesaat berdiri dalam diam, akhirnya laki-laki itu berkata, "Awalnya, saya sedikit jengkel karena mendapat tugas aneh seperti ini. Siapa Anda, beraninya menyuruh saya untuk berbuat sesuatu yang sepersonal itu! Tapi saat saya mengendarai mobil menuju rumah, hati nurani saya mulai mengusik. Sebenarnya saya sudah tahu kepada siapa saya harus mengatakan kasih saya. Sekadar cerita saja, lima tahun lalu, ayah saya dan saya sempat berselisih pendapat dan akhirnya bertengkar hebat sampai saat ini. Kami saling menghindari kecuali kondisinya sangat mendesak. Tapi sejak itu, kamu sama sekali tak pernah saling bicara. Jadilah, pada Selasa minggu lalu, setibanya di rumah saya meyakinkan diri sendiri bahwa saya harus pergi ke ayah saya dan menyampaikan kasih saya padanya. Memang terasa aneh, tapi sekadar membuat keputusan itu saja saya merasa ada beban berat yang terangkat dari pundak saya. Pagi harinya, saya bangun lebih awal dan segera pergi ke kantor. Selama bekerja saya merasa lebih bersemangat, dan tidak menyangka saya bisa menyelesaikan lebih banyak pekerjaan dibanding yang pernah saya kerjakan seharian penuh di hari-hari sebelumnya. Lalu, saya menelepon ayah saya untuk menanyakan apakah saya bisa mampir ke rumah sehabis pulang kantor. Dan seperti biasa, ayah saya menjawabnya dengan suara galak, ‘Mau apa lagi sekarang?' Saya meyakinkan dia bahwa saya hanya sebentar saja di sana. Karena semua pekerjaan saya hari itu bisa selesai dikerjakan dalam waktu lebih cepat, saya pun bisa keluar kantor lebih awal. Dan saya langsung menuju ke rumah orangtua saya. Sesampainya di sana, saya berharap ibu sayalah yang membukakan pintu. Tapi ternyata saya langsung bertemu muka dengan ayah saya. Tanpa buang-buang waktu lagi, saya segera berkata, ‘Yah, saya hanya mampir untuk bilang aku sayang Ayah.' Saat itu juga terasa ada perubahan dalam diri Ayah. Ekspresi wajahnya terlihat lebih ramah, kerutan-kerutannya tampak menghilang, dan ia mulai menitikkan air mata. Ia lalu merangkul saya dan balas berkata, ‘Ayah juga sayang kamu, Nak, tapi selama ini sulit mengatakannya.' Saat itu sungguh menjadi momen yang tak ternilai harganya. Saya dan ayah masih berpelukan beberapa lama, dan setelah itu saya berpamitan. Tapi bukan itu inti cerita saya. Dua hari setelah kunjungan itu, ayah saya yang ternyata punya masalah jantung tapi tidak pernah bilang pada saya, mendapat serangan jantung dan langsung dilarikan ke rumah sakit dalam keadaan koma. Saya tak tahu apakah ayah saya akan berhasil melalui semua ini. Semoga saja. Mungkin yang bisa saya sampaikan di sini adalah: 'jangan menunggu untuk melakukan sesuatu yang memang kita tahu perlu kita lakukan'. Bagaimana seandainya saya menunda untuk mengungkap perasaan pada ayah saya? Mungkin saya tidak kan pernah mendapat kesempatan itu lagi! Karenanya, sediakan waktu untuk mengerjakan apa yang perlu kita lakukan dan lakukan sekarang juga!'" SUMBER:Tim AndrieWongso - andriewongso.com

Kisah Pemuda Bebas Sang Penikmat Hidup

Sergio sangat menikmati hidup, sebisa mungkin dia tidak membuat hidupnya sulit dan menderita. Moto Sergio, hidup di dunia hanya sekali, jangan dibuat susah! Dia sangat bersemangat dalam hidup, dan tidak mau dibatasi oleh berbagai aturan terutama yang menyangkut gaya hidup sehat. Duduk bermain video game memang lebih mengasyikkan daripada badan pegal-pegal dan letih karena olahraga, meskipun sebenarnya olahraga membuat tubuh lebih bugar dan bersemangat dalam hidup sehari-hari. Potato chips berbungkus-bungkus juga lebih menarik untuk disantap ketimbang buah-buahan yang harus dikupas dulu dan berasa manis-manis-hambar. Apalagi sayur! Mengapa harus menyantap sayur yang pahit-getir dan berserat jika makanan olahan seperti sosis, nugget dan mie instan bisa memberi rasa yang enak dan mudah untuk dibuat? Lebih parah lagi menyangkut alkohol, rokok dan bahkan zat adiktif, Sergio sama sekali tidak peduli dengan larangan yang diperkuat dengan penjelasan tentang berbagai efek buruknya pada kesehatan. Suatu kali, Sergio terlibat dalam pembicaraan tentang hidup-mati dengan temannya. "Aku akan segera berhenti dan mulai hidup sehat. Aku tidak mau mati muda," si teman bertutur. "Ah, hidup mati itu udah ada yang ngatur! Tuh, temanmu, ga ngapa-ngapain juga mati muda," jawab Sergio. Teman Sergio memilih tidak membantah, dan hanya bertutur dia tetap ingin berhenti. Semua teman-temannya sudah tahu Sergio tidak akan bersusah payah untuk 'memperpanjang' umur karena dia yakin umur seseorang tidak ada hubungannya dengan itu. Ketimbang bersusah payah dan tetap mati muda, lebih baik bersenang-senang saja. Jika mati muda, setidaknya kamu sudah menjalaninya dengan senang; jika berumur panjang, artinya bisa bersenang-senang lebih lama lagi! Tak disangka di usia yang masih belum genap 40 tahun, Sergio meninggal. Teman-temannya sangat kehilangan sosok yang penuh kebebasan ini, tapi mereka yakin Sergio berbahagia telah menjalani hidup seperti yang dia inginkan. Sementara itu, arwahnya melayang ke alam setelah kematian. Sergio tidak pernah menyakiti orang lain atau pun berbuat kriminal, dia yakin arwahnya akan tenang di apa yang disebut surga. Namun sesampainya di gerbang batas, penjaga alam sana memeriksa daftar orang-orang yang harus berpulang. Nama Sergio tidak ada di sana. Dia diminta kembali ke dunia hingga tiba saatnya. Sergio kebingungan mengapa dia ditolak dan harus gentayangan di dunia nyata. Seperti halnya di dunia, Sergio membantah penjaga itu dengan bersikeras bahwa waktunya di dunia sudah habis karena Tuhan sudah mencabut nyawanya, bagaimana bisa penjaga itu bilang belum saatnya bagi Sergio untuk berpulang? Sebelum memudar penjaga itu menjawab, "Kamu mati karena tubuhmu tidak lagi kuat menjadi wadah bagi jiwamu. Seharusnya saat ini kau masih hidup, Sergio, jika kau rawat dan jaga tubuhmu dengan baik. Masa hidupmu masih berpuluh tahun lagi. Kini karena tubuhmu telah rusak, maka jiwamu harus bergentayangan hingga tiba waktunya." SUMBER:EW Andayani - kapanlagi.com

Mimpi Sang Raja

Alkisah, suatu hari seorang raja terbangun dari tidurnya. Rupanya, sang raja baru saja mendapat mimpi buruk yang penuh teka-teki. Dengan napas masih terengah-engah, sang raja berteriak memanggil hulubalang kerajaan. "Hulubalang... panggil peramal istana sekarang juga. Cepaaat...!" Hulubalang tergopoh-gopoh pergi menunaikan perintah raja tanpa berani bertanya siapa peramal yang dikehendaki raja. Tak lama, seorang peramal kerajaan menghadap. Raja langsung membeberkan mimpinya dan meminta si peramal mengartikannya. "Aku bermimpi aneh sekali. Dalam mimpi itu, gigiku tanggal semua. Hah... pertanda apa ini?" tanya sang raja. Setelah mengadakan perhitunga dan penanggalan secara cermat dan teliti, dengan sedih si peramal berkata, "Mohon ampun, Baginda. Dari penerawangan hamba, mimpi itu membawa pesan, bahwa kesialan akan menimpa Baginda. Karena, setiap gigi yang tanggal itu berarti seorang anggota keluarga kerajaan akan meninggal dunia. Jika semua gigi tanggal, berarti kesialan besar, semua anggota keluarga kerajaan akan meninggal dunia!" Bagai disambar geledek, raja langsung merah padam mukanya. Perlambang buruk yang disampaikan si peramal itu membuatnya marah besar. Raja langsung memerintahkan supaya peramal itu dihukum. Walau begitu, kegundahan hati sang raja tidak juga mereda. Raja masih gelisah dan merasa tidak puas. Lalu sang raja memerintah hulubalang untuk memanggil peramal yang lain. Segeralah seorang peramal baru datang menghadap sang raja. Kali ini, setelah mendengar penuturan mimpi sang raja, peramal itu tersenyum. "Baginda Raja, dari penerawangan hamba, mimpi itu membawa pesan bahwa Baginda adalah orang yang paling beruntung di dunia. Paduka berumur panjang dan akan hidup lebih lama dari semua sanak keluarga Baginda," kata peramal dengan nada riang dan bersemangat. Mendengar perkataan peramal tersebut, mendadak secercah senyum mengembang di muka sang raja. Tampaknya, sang raja sangat senang dengan perkiraan peramal tadi. "Kamu memang peramal yang pandai dan hebat. Dan sebagai hadiah atas kehebatanmu itu, aku hadiahkan 5 keping emas untukmu. Terimalah..." Setelah peramal kedua itu pergi, sang raja bertanya kepada penasihat istana tentang kualitas dan keakuratan kedua peramal tadi. Penasihat istana yang telah menyaksikan peristiwa tersebut, dengan berani dan bijaksana berkata,"Baginda. Menurut hamba, peramal pertama mengartikan tanggalnya gigi baginda sama artinya dengan meninggalnya kerabat Baginda. Sementara peramal kedua mengartikan Baginda berumur lebih panjang dibandingkan kerabat Baginda. Sesungguhnya, kedua peramal itu menyatakan hal yang sama. Yaitu, semua kerabat Baginda akan meninggal lebih dulu, dan Baginda seoranglah yang hidup lebih lama." Kemudian, penasihat istana menyimpulkan, "Jadi sebenarnya,kedua peramal tadi mempunyai kualitas yang setara. Yang membedakan hanyalah cara penyampaian mereka. Peramal pertama berbicara apa adanya tanpa memikirkan dampak negatifnya. Sementara peramal kedua menjawab dengan cerdik dan bijak sehingga Baginda merasa senang dan memberinya hadiah." Kerabat Imelda... Keterampilan berkomunikasi (communication skill) sangat penting dalam meraih kemajuan. Baik dalam bidang bisnis, politik, sosial-kemasyarakatan, hubungan antar pribadi, atau hubungan dalam rumah tangga, keterampilan berkomunikasi memegang peran sangat vital. Secara sederhana, pola komunikasi bisa dibedakan menjadi dua, yaitu pola komunikasi positif dan pola komunikasi negatif. Pola komunikasi positif (seperti sikap kooperatif, kerjasama, kesepahaman, ketulusan, dan toleransi) hampir dipastikan mendatangkan output positif. Sebaliknya, pola komunikasi negatif (seperti kesalahpahaman, kebencian, kecurigaan, keragu-raguan, permusuhan dan dendam) hampir dipastikan membawa akibat-akibat negatif pula. Keterampilan berkomunikasi secara positif merupakan "syarat mutlak" bagi kesuksesan kita dalam bidang apa pun. Maka, mari kita mulai mengembangkan pola komunikasi positif dengan orang-orang terdekat kita, dengan teman-teman, rekan kerja, relasi bisnis, dan pihak-pihak lain yang relevan dengan aktivitas kita sehari-hari, agar kualitas pergaulan kita terpelihara dengan baik. SUMBER:Andrie Wongso - andriewongso.com

Cara Memaafkan Orang Lain Dengan Tulus

Memaafkan orang lain tak semudah kelihatannya. Kadang.. tangan telah berjabat, bibir telah mengatakan "Aku sudah memaafkanmu," tetapi bagaimana dengan hati kecil Anda, apakah Anda telah memaafkan orang lain dengan tulus? Apakah Anda sudah merelakannya dan tidak akan mengungkit hal itu di kemudian hari? Sekalipun sulit, memaafkan adalah hal yang mulia, memaafkan adalah kemampuan yang bisa dilakukan setiap orang, termasuk Anda. Memaafkan tidak hanya sekedar anjuran yang diminta hampir semua agama, karena sudah banyak penelitian ilmiah yang membuktikan keajaiban maaf. Memaafkan orang lain dengan tulus membuat Anda lebih sehat dan bahagia, buktikan saja! Jika saat ini Anda masih sulit memaafkan orang lain, tarik napas sebentar, buang, lalu baca artikel ini hingga selesai. 1.Lakukan Untuk Diri Anda Sesungguhnya, memaafkan orang lain tak hanya melegakan orang lain yang telah berbuat salah pada Anda, tetapi lebih kepada diri Anda sendiri. Anda yang akan merasa lega. Anda yang akan merasakan dampak baiknya untuk kesehatan. Anda yang pada akhirnya akan tenang dan bahagia. Karena dendam dan rasa kesal yang ada di hati telah hilang. 2. Berpikir Positif dan Sabar Tidak perlu menduga-duga bahwa memaafkan orang lain akan membuat Anda terlihat lemah. Lupakan anggapan bahwa memaafkan kesalahan orang lain hanya menjatuhkan harga diri Anda. Itu semua tidak benar. Berani memaafkan orang lain, berarti Anda menghargai diri Anda sendiri. Tarik lengkung senyum Anda, dan lakukan! 3. Posisikan Diri Anda di Posisinya Seringkali kita menghakimi orang lain karena kita tidak pernah merasakan posisinya. Coba pejamkan mata Anda, dan buat diri Anda ada di dalam posisinya. Biasanya, akan muncul pengertian mengapa orang tersebut sampai hati membuat Anda kesal. Kalaupun tidak berhasil, jangan menghakiminya. Ingat, setiap manusia pada dasarnya tak luput dari kesalahan, Andapun bisa melakukan kesalahan yang sama. 4. Ungkapkan Isi Hati Anda Jika Anda memaafkannya dan berharap dia tidak akan melakukan hal yang sama di lain waktu. Katakan saja apa yang mengganjal hati Anda selama ini mengenai kelakuannya, atau tutur katanya, atau hal apapun yang sekiranya ingin Anda sampaikan. Tidak masalah, hal ini akan membantu dia mengerti bahwa tindakannya tidak menyenangkan Anda. Lakukan hal ini dengan tutur kata lembut dan empat mata. 5. Lupakan Siapa Yang Salah, Siapa Yang Benar Ego sering mengalahkan hati. Akan ada perdebatan mana yang benar, mana yang salah saat Anda harus memaafkan orang lain. Setiap orang seringkali merasa benar, dan dia yang salah. Coba lupakan hal ini, tak ada manusia yang sempurna. Semua orang bisa salah, semua orang bisa bertindak keliru. Coba bayangkan, Anda pasti lega jika orang lain memaafkan Anda, jadi lakukanlah hal yang sama pada orang lain. Kutipan dari situs Peperonity ini bisa menjadi masukan untuk Anda: "Memaafkan bagaikan membebaskan seseorang dari penjara, dan kemudian kita akan tahu bahwa orang itu adalah diri kita sendiri." SUMBER:kapanlagi.com

Jodohku Tak Akan Tertukar

Aku perempuan berumur 25 tahun. Sebut saja namaku Risa. Seperti kebanyakan perempuan lainnya, di umur yang nanggung ini aku sering galau memikirkan jodoh. Sebenarnya sering kali aku menepis perasaan itu, tapi rasa ingin tahu akan jodohku lebih sering muncul dibandingkan tepisanku. Hingga aku ingat suatu pesan ibuku beberapa waktu lalu. Sebelumnya, ibuku berpesan bahwa ia hanya mengijinkan pernikahan bagi anak-anaknya. Tidak ada kamus pacaran dalam keluarga. Dalam percakapan itu, ibuku menerangkan bahwa ia akan gelisah jika anak-anaknya sampai terjerumus ke dalam hal-hal yang memalukan dan dapat mencoreng nama keluarga. Ibuku juga mengistilahkan bahwa anak ibarat intan yang berarti sebagai penghias seluruh keluarga. Hanya saja kadang karena menjadi perhiasan itulah mereka menjadi khilaf, bukan bersyukur. Dan ibarat emas, anak selalu berharga mahal jika orang tuanya pandai merawat dan menjaga emas itu. Tak peduli dengan harga emas yang fluktuatif, tapi orang tua yang baik dan mengerti bagaimana cara menjaga anak-anaknya selalu tahu waktu kapan emas itu layak untuk diperjual-belikan. Yaitu melalui pernikahan. Saat itu, aku baru tahu alasan mengapa ibu dan ayah selalu melarangku ini-itu yang terkesan overprotective. Membiarkan mereka yang mengejar kita dengan caranya, menggali lebih dalam potensi kita sebelum benar-benar teraih oleh salah satu dari mereka, membiarkan masing-masing diantara mereka dan kita saling meningkatkan kualitas hidup untuk generasi yang jauh lebih berkualitas; para pendahulunya. Membiarkan Tuhan yang menentukan siapa bidadari-bidadara kita setelah kita telah patuh terhadap perintah-Nya dan tawakkal semampunya. Membiarkan itu semua mengalir bukan apa adanya, tapi mengalir dengan tetap berjalan pada koridor-Nya. Secara tak langsung, orang tuaku telah menjadikanku sedikit lebih dekat dengan Allah melalui larangan pacaran. Aku paham bahwa melalui pacaran, pintu menuju perzinaan akan terbuka. Dan aku bangga pada ibu dan ayah yang telah melarangku untuk berpacaran, itu artinya beliau benar menjagaku sesuai syariat islam yang berlaku. Tak usahlah kita meragu dan khawatir akan siapa jodoh kita kelak. Dia telah menyiapkan yang sesuai dan benar untuk kita kelak jika telah tiba waktunya. Jodohku tak akan tertukar. Dia tidak akan cepat-cepat datang menjemputku hingga membuatku gelisah. Dia juga tidak akan terlambat datang sampai membuatku cemas. Dia akan menjemputku saat tiba waktu raga dan jiwa kami siap. SUMBER:kapanlagi.com

Cinta Seorang Ibu Tak Habis Dimakan Waktu

Sahabat kami pernah bercerita pada suatu waktu, mengenai pengalamannya bersama sang ibu. Bisa dikatakan, sahabat kami ini memiliki hubungan yang tidak terlalu dekat dengan ibunya. Sahabat kami ini memiliki keluarga yang utuh, sejak kecil selalu tinggal bersama, tetapi dia sering mengatakan bahwa hubungannya dengan sang ibu tidak terlalu dekat. Hingga tiba saatnya sahabat kami telah selesai menempuh program pertukaran mahasiswa di Amerika Serikat selama tiga bulan. Sahabat kami ini tinggal di salah satu keluarga asing yang telah ditetapkan kampusnya (biasanya beberapa keluarga di Amerika Serikat bersedia menerima mahasiswa dari negara asing sebagai bagian dari keluarga mereka secara cuma-cuma). Di sana, sahabat kami diterima dengan baik oleh keluarga barunya. Terlalu betah dengan keluarga baru dan lingkungan yang baru, sahabat kami ini hanya sesekali menelepon keluarganya, termasuk ibunya. Dia hanya menelepon sebulan sekali, itupun hanya basa-basi menanyakan kabar dan tidak pernah lebih dari lima menit. Selebihnya, sang ibu tidak pernah menelepon balik, biaya menelepon cukup mahal bagi keluarganya, sehingga satu-satunya kabar adalah dari telepon yang selalu ditunggu sang ibu. Pada suatu malam, saat masa perkuliahan selesai, sahabat kami mengucapkan terima kasih pada keluarga barunya yang sebenarnya orang asing dan bukan siapa-siapa. "Terima kasih Anda menerima saya dengan baik di sini selama beberapa bulan, terima kasih sudah memberi saya makanan yang lezat dan menyediakan kamar yang nyaman. Saya bahkan tidak pernah senyaman ini, padahal Anda adalah orang asing bagi saya," ujar sahabat kami ketika itu. Lalu orang tua angkat sahabat kami itu mengatakan, "Tidak nak.. apa yang kami berikan ini tidak ada apa-apanya dibandingkan apa yang sudah diberikan keluargamu. Kami hanya memberimu tumpangan selama tiga bulan, tetapi ibumu perlu sembilan bulan dan bertahun-tahun untuk menyedihkan rumah yang sesungguhnya. Kami hanya memberimu makan selama tiga bulan, perlu lebih dari waktu itu yang dibutuhkan ibumu untuk memberi ASI dan menyiapkan makanan untukmu selama bertahun-tahun," Saat itu, sahabat kami tersentak. "Kami hanya berbuat baik sebentar saja padamu, dan kamu sudah begitu terharu. Kami harap kamu sudah berterima kasih pada keluargamu di Indonesia, dan pada ibumu," Mata sahabat kami berkaca-kaca saat dia menceritakan bagian ini. Dia mengatakan bahwa ada penyesalan yang sangat dalam karena selama ini dia terlalu cuek pada keluarganya, terutama pada ibunya. Dia tidak pernah menganggap masakan yang selalu dibuat oleh ibunya adalah sesuatu yang sangat berharga. Dia selama ini lupa bahwa ada doa yang mengiringinya setiap waktu, yang selalu keluar dari hati dan bibir ibunya. Sejak kejadian itu, sahabat kami tidak pernah lagi absen menanyakan kabar ibunya setiap hari. Dia menjadi lebih terbuka dan mau mendengar keluh kesah ibunya. Dan lebih dari itu, sahabat kami menyampaikan kisah ini agar Anda tidak melakukan kesalahan yang sama. Selalu ada cinta dan doa dari ibu yang tidak akan habis dimakan waktu. Sudahkah Anda berterima kasih? Jika saat ini Anda jauh dari ibu, tak ada salahnya memulai pagi dengan menanyakan kabarnya. Mendengar suara Anda akan sangat melegakan hatinya, percayalah :) SUMBER: kapanlagi.com

Pengorbanan Luar Biasa Seorang Austria untuk Jerman

Dari arena Olimpiade banyak kisah inspiratif yang menyentuh. Dan dari arena Olimpiade Beijing 2008, muncullah kisah Matthias Steiner, atlet angkat berat yang memutuskan pindah kewarganegaraan demi sang istri. Steiner lahir di Wina, Austria, 25 Agustus 1982, dari orangtua penggiat olahraga. Ia mulai menekuni olahraga angkat berat pada tahun 1995 saat usianya 13 tahun. Namun kecintaannya pada olahraga ini mendadak hancur ketika ia merayakan ulang tahunnya yang ke-18. Saat itu tiba-tiba ia sering dilanda rasa haus yang mendera. Napsu makan hilang dan dalam tempo tiga bulan bobot tubuhnya turun 5 kg. Ia kemudian memeriksakan diri ke dokter. Dan analisa dokter mengagetkannya karena ia dinyatakan terkena diabetes. Meski kaget dengan penyakitnya, ia memutuskan untuk tetap berlatih angkat berat.Tahun 2004 ia bisa mewakili negaranya Austria ikut Olimpiade Athena. Namun ia hanya mampu menduduki urutan ke-7 sehingga gagal mempersembahkan medali. Setelah Olimpiade Athena, ia menikahi perempuan Jerman, Susann, yang adalah penggemarnya. Namun setelah itu ia mengalami pergolakan hubungan dengan staf pelatih angkat berat Austria. Entah bagaimana kejadiannya. Yang jelas Steiner begitu terpukul. Sampai-sampai ia memutuskan untuk tidak memperkuat tim angkat berat negaranya, Austria. Ia lalu mengajukan diri menjadi warga negara Jerman mengikuti istrinya. Ternyata niat itu tak mudah. Pengajuannya pindah kewarganegaraan tak gampang dipenuhi. Permohonan itu pun terkatung-katung. Namun tekad Steiner sudah bulat. Ia memimpikan, sebelum tahun 2008 di mana pelaksanaan Olimpiade Beijing dilakukan, ia harus sudah mendapat kewarganegaraan Jerman. Susann tentu saja mendukungnya. Hanya saja Susann mengalami kecelakaan lalu-lintas tahun 2007 yang membuatnya koma. Saat di rumah sakit menunggu istrinya dengan penuh kesedihan, Steiner berjanji akan berusaha sekuat tenaga untuk meloloskan cita-citanya berlaga di Olimpiade Beijing sebagai hadiah untuk sang istri. Bahkan ia ingin mempersembahkan emas. Sayangnya tak lama kemudian Susann justru meninggal. Awal tahun 2008 permohonannya untuk menjadi warga negera Jerman diterima. Ia pun bisa berkompetisi di kejuaraan dunia mewakili Jerman. Bahkan pada 23 Januari ia lolos mewakili negara barunya untuk berlaga di Olimpiade Beijing. Hingga kemudian, Agustus 2008, sampailah ia ke babak final angkat berat kelas 105 kg Olimpiade Beijing. Di kelas ini ia bersaing dengan Evgeny Chigishev (Rusia) serta juara Eropa dan dunia Viktors Scerbatihs (Latvia). Pada angkatan snatch, Steiner mampu mengangkat beban 203 kg. Namun itu hanya menempatkannya di posisi keempat. Ia mencoba menambah beban sebanyak 7 kg tapi gagal. Lebih buruknya, ia juga hampir gagal melewati lawan-lawannya saat berkompetisi di clean and jerk. Di percobaan kedua ia mampu mengangkat 248 kg. Namun itu tak cukup menjadi juara karena Chigishev mampu mengangkat hingga 250 kg. Total angkatan Chigishev 460 sedangkan ia 451. Satu-satunya peluang agar ia juara adalah ia harus menambah beban 10 kg hingga 258 kg. Belum pernah ia mengangkat beban seberat itu. Tetapi itulah harapan terakhirnya. "Saya sudah merasa kalah, tetapi mendiang istri saya jadi dorongan terbesar saya," katanya. Ia maju. Ia pegang beban itu. Mengusapnya. Lalu, hup, ia mengangkatnya. Ia jongkok sebentar menahan beban sebelum dengan cepat berdiri. Beban masih ada di bahunya, tinggal mengangkatnya. Semua penonton terpaku. Ia berhenti beberapa saat menyiapkan tenaga. Setelah itu ia mengangkat beban 258 kg dan berhasil menahannya di udara. Penonton bersorak. Steiner membanting beban itu dan segera melepas emosinya yang dahsyat sambil menangis. Steiner pun meraih emas. Saat pengalungan medali, ia mencium foto mendiang istrinya. Ternyata dengan harapan yang begitu tinggi, dorongan ambisi untuk membuktikan diri, dan hasrat mempersembahkan yang terbaik atas pengorbanan istrinya hingga ia meninggal, telah mendorong Steiner melakukan angkatan yang tak pernah dilakukannya sebelumnya. Ia meraih medali emas dengan total angkatan 461 kg. Luar biasa! SUMBER:Tim AndrieWongso - andriewongso.com

Hidup Bagaikan Segelas Kopi

Mungkin pernah terlintas dalam benak pikiran kita apa sih arti hidup kita ? Dan apa tujuan kita dalam hidup ini ? Memang pertanyaan diatas akan sulit untuk dijelaskan karena setiap orang pasti memiliki jalan hidup yang berbeda. Terkadang disaat kita menjalani hidup ini, akan banyak halangan yang akan datang silih berganti. Banyak setiap orang yang putus asa disaat menghadapi halangan – halangan tersebut, terkadang ada juga beberapa orang yang menikmati akan adanya halangan – halangan tersebut. Kita bisa menjadikan halangan – halangan yang ada di hidup kita bagaikan sebuah gula. Mengapa saya mengandaikan sebagai gula?, begini setiap orang pasti selalu menyukai sebuah kopi, sebuah minuman yang hitam pekat dan kadang tidak menarik untuk di minum, tetapi dengan adanya gula tersebut secangkir kopi tadi akan lebih terasa nikmat bila kita meminumnya. Ya! kita bisa mengandaikan juga kehidupan kita sebagai segelas kopi pahit yang baru saja kita seduh. Kopi tersebut, jika baru anda seduh tanpa memberikannya gula akan terasa pahit dan tidak enak di lidah. Sama halnya seperti kehidupan kita yang selalu monoton tidak ada perubahan yang signifikan dari apa yang terjadi di saat kita menjalani hidup ini. Masalah atau halangan sebesar dan sesulit apapun pasti bisa kita jalani atau selesaikan asal tidak ada kata menyerah,putus asa, semua itu demi memperoleh sebutir gula di hidupmu, tetapi halangan – halangan yang entah itu kecil atau besar akan menjadi sebutir gula yang akan menambahkan rasa pada kopi kita tadi, tinggal bagaimanakah kita bisa mengatur butiran – butiran gula tersebut, agar pas di kopi tersebut. Tidak terlalu manis juga tidak terlalu pahit, itulah makna sebuah hidup kita harus menikmati segala rencana tuhan yang di berikan kepada kita dan kita akan mendapatkan sebuah kopi yang dapat menenangkan hidup kita. SUMBER:gemintang.com

Keluargaku

Semua terasa indah, keluargaku ini adalah nyawa keduaku. Hari-hari yang aku jalani sangatlah bahagia. Aku terlahir dari keluarga yang berkecukupan di sebuah kota besar. Di kota ini aku terlahir dan meranjak dewasa bersama kasih sayang yang mengalir dari kedua orangtuaku yang aku sayangi. Aku adalah anak ke-2 dari 3 bersaudara. Anak pertama, kakakku yang tampan Alan “bukan nama asli”. Dia adalah anak tertua di antara kami bertiga. Dia baik namun agak tegas. Aku bangga memiliki kakak seperti dia. Kakakku itu memiliki keahlian di bidang otomotif. Dia memiliki sebuah usaha sendiri semenjak dia lulus bangku Universitas. Anak ke-2 adalah aku, Martin. Aku adalah peria kedua yang terlahir dari rahim ibuku. Aku adalah peria yang agak cuek. Setelah lulus SMIP, aku memilih untuk berkerja di satu restoran yang yang cukup besar untuk meneruskan minatku di bidang kuliner. Aku menjabat sebagi cook-1 direstorant tersebut. Si bungsu, Ferry. Dia sebenarnya adalah anak yang baik, namun mungkin karena usianya yang masih muda membuat pergaulanya sedikit nakal. Dia masih bersekolah di tingkat SMU. Dia penggila bola. Hampi setiap akhir pekan dia menghabiskannya dengan bermain futsal bersama kawan-kawannya. kami bertiga kadang terlibat pertengkaran, namun itu tak lama. kami saling menyayangi satu sama lain.Kedua orangtua kami mengajarkan kerukunan terhadap kami bertiga, dan mereka pun tidak ada pilih kasih terhadap kami bertiga. Di suatu hari, kedua orangtua kami harus pergi keluar kota untuk menemui penanam saham di usaha kami. Keluarga aku memiliki usaha. Yang mengelola usaha keluarga adalah ayah dan ibuku. Kami bertiga mengantar orangtua kami bersama ke bandara. Di sana aku kami akhirnya haurs berpisah dengan kedua orangtua kami. Kedua orangtua kami memeluk kami dan mencium kami bertiga. Ibu kami berpesan sebelum berangkat agar kami akur satu sama lain. Kamipun melepas orangtua kami dengan derai air mata. Kakakku yang paling anti menangis ternyata ikut menangis, maklum baru saat ini kami terpisah dari orangtua kami. Kedua orangtua kami akan menyelesaikan pekerjaan dalam waktu yang lama. setelah kepergian orangtua kami, semua kegiatan kami dipantau oleh Alan. Memang terkadang aku kesal terhadap sikap kakaku itu, namun aku tahu dia melakukan itu untuk kebaikan kami. Tiba disuatu hari adikku pulang larut malam, walaupun sebenarnya Alan sudah melarang kami untuk pulang malam hari. Pertengkaran terjadi antara kakak dan adikku. Mereka saling memaki satu sama lain hingga perkelahian pun tak terindahkan. Aku melerainya dan aku terpukul oleh adikku dan aku terjatuh tersungkur dari tangga, dan pergelangan tangan kiriku patah dan kepalaku terbentur dan akupun tak sadarkan diri. Alan dan Ferry mengangkatku dan melarikan aku kerumah sakit. Sesampainya di sana aku mendapat 7 jahitan di pelipisku. Mereka berdua meminta maaf kepadaku. Adikku menangis melihat aku yang tergeletak karena ulahnya. Mereka berdua menemaniku disini, kedua saudara kandungku. Kakakku meminta maaf kepadaku dan adikku, dan dia berkata bahwa dia melakukan semua ini karena dia takut terjadi apa-apa terhadap adikku dan karena dia sangat menyayangi kami sebagai adik-adiknya. Adikku pun akhirnya meminta maaf kepada kakakku. Akhirnya aku dibawa mereka pulang untuk di rawat dirumah oleh mereka. Hari-hari kami jalani seperti biasa. Kami saling mengerti satu sama lain. Adikku yang biasanya pulang larut, kini hampir tidak pernah pulang larut, dan kakakku yang biasanya tempramen kini agak menjaga emosinya . Tibalah kedua orangtu kami dari kepergianya. Kedua saudaraku kebetulan sedang ada di luar. Setibanya di rumah kedua orangtuaku kaget melihat aku terbaring di tempat tidur. Ibuku bertanya kepadaku tentang apa yang terjadi pada diriku. Aku menjawabnya jikalau aku terjatuh dari tangga, aku takut kedua saudaraku dimarahi oleh kedua orangtuaku. Ayahku bertanya tentang keberadaan Alan dan Ferry. Aku menjawab, bahwa keadaan mereka berdua baik-baik saja dan mereka sedang keluar untuk belanja makanan untuk kami. Tibalah kedua saudaraku dirumah. Mereka berdua terdiam melihat kedua orangtuaku sudah ada di kamarku. Kedua orangtuaku pun beranjak pergi kekamarnya untuk istirahat. Mereka berdua bertanya padaku apa yang di tanyakan oleh kedua orangtua kami terhadapku. Akupun menjelaskan kepada mereka, dan merekapun memelukku. Inilah arti dari sebuah ikatan persaudaraan. SUMBER:perempuan.com

Aku Bertahan Karena Cinta

Apa itu cinta? Itu sebuah pertanyaan yang terlontar dari seorang temanku ketika aku harus berhadapan dengan suatu masalah perasaan. Aku adalah seorang mahasiswa di salah-satu kampus di Jakarta. Aku memiliki beberapa teman, namun kami berbeda Universitas. Mereka semua berkuliah di satu kampus yang sama, hanya aku saja yang berbeda. Mereka semua adalah temen-temanku yang baik. Hampir setiap kali aku pulang kuliah, pasti aku mengunjungi kampus di mana teman-temanku berkuliah , maka tidak heran, aku lebih mengenal mahasiswa di sana dari pada di tempatku. Namaku Baim“bukan nama asli” teman-temanku sering memanggilku dengan Ubay, karena sudah terbiasa jadi aku tidak binggung. Aku dan mereka sering berkumpul di depan kampus teman-temanku, terkadang merekapun sering mendatangi kampus di mana aku melanjutkan pendidikanku. Walau kami berbeda tempat menimba ilmu, kami tetap selalu bertemu . Saat itu aku mengenal seorang wanita di tempat teman-temanku berkuliah. Dia adalah Chatlia”bukan nama asli” dia adalah salah satu mahasisiwi di sana dan cukup dekat dengan teman-temanku. Saat itu aku dikenalkan kepadanya oleh salah-satu temanku. Waktu itu dia sedang ada masalah dengan pacarnya. Aku jalani pertemanan itu. Aku coba menghibur dia. Perlahan rasa nyaman hadir, dan akupun semakin dekat dengan dia. Dia wanita yang lucu, selalu ada ide untuk membuatku tertawa. Kedekatan kami berjalan lama. Di satu saat temanku menanyakan prihal kedekatan kami. Mungkin karena kami terlalu dekat, yang membuat teman-temanku bertanya-tanya? Tidak terasa sudah aku telah lama menemani kegalauan dia. Kini aku menjadi galau. Aku kini menyimpan rasa terhadap dia. Ingin sekali ku ungkapkan perasaanku terhadap dia. Aku bertanya pada teman-temanku yang semuanya adalah teman satu kampus dengan wanita yang aku sayangi itu. Aku meluapkan perasaanku, aku berkata pada teman-temanku bahwa aku cinta dia. Mereka semua mendukungku, karena Chatlia sudah berpisah dari pacarnya. Aku menentukan hari dimana aku ingin menyatakan cinta terhadapnya. Tibalah saatnya, waktu itu aku menemani dia sehabis kuliah. Kami makan di sebuah warung makannan di pinggir jalan. hatiku berdebar kencang, keringatku pun mengaliri telapak tanganku. Aku harus memulai dari mana? Aku bertanya pada diriku sendiri. Aku beranikan diriku, saat itu aku mengutarakan perasaanku terhadap dia. Aku terdiam selesainya mengutarakan perasaanku terhadapnya, berharap cintaku dapat diterimanya. Dia hanya tersenyum padaku, tanpa member jawaban padaku. Aku tidak mempersoalkan itu, setidaknya aku sudah mengungkapkan semua isi hati yang kumiliki utntuk dia. Setelah hari itu berlalu, dimana aku mengutarakan rasaku, kami menjalani seperti biasa. Kami saling bertemu, berkumpul berasama teman-temanku. Sedikit berbeda, saat aku bertemunya , jantungku berdebar lebih kencang. Aku masih menunggu jawaban dari semua persaanku ini. Saat kami berkumpul di satu tempat, salah satu temanku berkata padaku bahwa Chatlia pernah mencintaiku. Hatiku terasa berbunga walau itu hanya sebuah kata-kata dari temanku. Aku berfikir, masih ada sudut untukku membuktikan kesungguhan cinta ini. Hari-hariku berbias namanya. Setiapku beraktifitas tergambar wajahnya di khayalku, sungguh inilah cinta untuknya. Sore itu, saat kami berkumpul, temaku berkata jikalau Chatlia bertanya tentangku! Ada apa gerangan dia bertanya tentangku? Tak lama kemudia dia pun datang, dia menghampiri kami dan bergabung untuk sekedar bercanda gurau. Tidak terasa malam tiba, diapun hendak pulang. Aku tidak tega melihat dia harus pulang larut malam sendiri. Aku takut terjadi apa-apa terhadapnya. Aku bertanya padanya siapa yang akan mengantarnya pulang? Dia bberkata bahwa dia akan di jemput, aku sedikit tenang , setidaknya dia ada yang mengantar pulang. Diapun beranjak pergi menuju area parker kampus. Tidak lama dia pergi, aku dan kawan-kawanku pu beranjak untuk pulang. Dalam hatiku berdoa, semoga Chatlia selamat sampai rumahnya. Saat aku menuju area parker bersama kawan-kawanku aku berpapasan denga Chatlia, dia tidak sendiri dia dengan seorang peria. Dia pun mengenalkannya pada kami, bahwa peria itu adalah kekasihnya. Dia sudah menjalani hubungan dengan peria itu cukup lama. aku tidak dapat berkata! Karena yang aku ketahui dari Chatlia, dia belum memiliki kekasih semenjak dia putus dari mantan kekasihnya. Dia melihat kearahku, dan akupun tak sanggup berbuat apa-apa! Aku melihat mereka berdua begitu dekat. Mungkin dia bahagia dengan peria itu, mungkin peria itu adalah yang terbaik untuk wanita yang aku cintai. Aku pun hanya tersenyum melihat mereka berdua. Tidak terpungkiri aku patah hati, namun jika ini memang menjadi yang terbaik untuk wanita yang aku cintai, inilah pilihan yang aku ambil “aku siap merasakan patah hati demi senyumnya”. Sampai detik ini aku sering bertemu denganya, berbicara denganya dan masih mencintainya, aku akan selalu bertahan disini dengan segala rasa ini tanpa harus memiliki dia. Untukku cinta adalah sebuah perasaan yang tidak dapat melihat pasangan yang di kita cintai menangis dan cinta adalah sebuah pembuktian ketulusan rasa, bukan hanya kata-kata manis semata. SUMBER:perempuan.com

Makna Memberi Dari Sepasang Sarung Tangan

Memberi adalah soal niat dan tindakan, bukan karena kuantitas. Bukan karena memiliki sesuatu yang berlebihan, yang tidak mampu dihabiskan sendirian maka kita memberikannya pada orang lain. Bukan pula karena kita tidak lagi membutuhkan barang itu, atau tidak menyukainya sehingga barang itu diberikan ke orang lain. Kimberly Harding selalu menyediakan uang $3 di dalam mobil dan juga dalam kantong bajunya untuk diberikan pada peminta-peminta yang datang padanya dan meminta sedikit belas kasihan. Tiga dolar adalah jumlah yang tidak seberapa, namun bagi para homeless yang mengira hanya akan mendapatkan 25 sen, uang sejumlah itu cukup banyak. Ditambah dengan jawaban yang riang dan sesekali pelukan dari Kimberly, mereka sangat senang dengan uang yang bagi banyak orang tidak seberapa itu. Selain menyediakan uang pecahan kecil, Kimberly juga selalu membawa barang-barang yang mungkin akan mereka perlukan. Di negeri empat musim, hangatnya matahari hanya bisa dirasakan di bulan-bulan tertentu dalam satu tahun. Sisanya, adalah udara dingin dan kadang-kadang hujan yang tidak ramah bagi kaum homeless ini. Maka Kimberly membawa juga topi, kaos kaki, sarung tangan dan payung, juga sepaket kebutuhan pribadi seperti sikat gigi, pasta gigi, sisir, band-aids, aspirin dan juga makanan instan yang bisa disimpan dan digunakan kapan saja. Barang-barang itu dibawa dan disediakan Kimberly seperti memenuhi kebutuhannya sendiri. Sudah menjadi kebiasaan baginya untuk selalu menyediakan barang-barang tersebut. Suatu kali, Kimberly dikejutkan oleh seorang wanita muda. Saat itu udara mulai dingin, dan Kimberly memberikan uang 3 dollar dan sebuah topi pada wanita itu untuk menghangatkan kepalanya. Kimberly sendiri tidak mengenakan sarung tangan karena merasa udara belum cukup dingin. Biasanya, orang yang diberi uang oleh Kimberly langsung mengatakan terima kasih dan beranjak pergi, atau tersenyum riang saja; tapi wanita ini bergegas ke kantong bawaannya dan meminta Kimberly untuk menunggu. Dia kembali lagi dengan sepasang sarung tangan cadangan miliknya dan memberikan sarung tangan itu pada Kimberly. Tentu saja wanita ini lebih membutuhkan sarung tangan itu. Bagaimana jika sarung tangan yang dipakainya basah dan dia harus mengganti sarung tangannya? Namun inilah makna 'memberi' yang sesungguhnya. Memberi bukan menyingkirkan barang yang tidak kita senangi, bukan menghibahkan barang yang tidak kita pakai (atau malah barang yang sudah rusak!) pada orang lain; memberi adalah niatan dari hati kita untuk membuat orang lain lebih nyaman dan lebih baik. Kimberly menyimpan sarung tangan itu, dan menjadikannya berkat bagi kaum papa lainnya ketika dia bertemu seseorang yang juga membutuhkan sarung tangan. Demikian rantai kasih sebenarnya tidak berhenti hanya karena Anda tidak mampu atau tidak berkecukupan, selama ada cinta, niatan dan tindakan untuk membuat orang lain lebih bahagia, Anda selalu bisa untuk memberi. SUMBER:kapanlagi.com yang ditulis ulang dari peopleandpossibilities.com

Surat Abraham Lincoln Kepada Kepala Sekolah

Berikut adalah sebuah surat yang ditulis sendiri oleh Abraham Lincoln (1809-1865; negarawan AS) kepada Kepala Sekolah putranya. Meski ditulis puluhan tahun silam, isinya tetap relevan hingga sekarang bagi semua kalangan, entah itu eksekutif, pekerja, guru, orangtua, dan murid. Pesan untuk Para Guru "Saya tahu dia (baca: putra Lincoln) harus belajar bahwa tidak ada manusia yang bersikap adil dan berlaku jujur. Tapi, tolong ajari dia indahnya buku-buku... dan berikan dia juga waktu untuk merenungkan misteri abadi tentang burung-burung di langit, lebah-lebah di bawah matahari, dan bunga-bunga di lereng bukit yang menghijau. Di sekolah, ajari dia bahwa kegagalan itu jauh lebih terhormat daripada berbuat curang.... Ajari dia untuk meyakini gagasan-gagasannya sendiri, meski semua orang berkata dia salah. Ajari dia untuk bersikap lembut kepada orang-orang yang juga bersikap lembut, dan bersikap keras kepada orang-orang yang juga bersikap keras. Berikan putra saya kekuatan untuk tidak begitu saja mengikuti orang banyak ketika mereka sedang bersukaria akan sesuatu.... Ajari dia untuk mendengarkan semua orang yang berbicara padanya; tapi ajari dia juga untuk menyaring kebenaran dari semua hal yang didengarnya, dan hanya mengambil hal-hal yang positif saja. Ajari dia cara untuk tertawa di saat dia sedih.... Ajari dia agar tidak malu untuk menangis. Ajari dia untuk mencemooh orang-orang yang bersikap sinis dan bersikap waspada terhadap orang-orang yang selalu bermuka dan bermulut manis. Ajari dia untuk mengerahkan seluruh kekuatan dan pikirannya untuk melakukan hal-hal terbaik, tapi jangan pernah menjual hati dan jiwanya. Ajari dia untuk tidak mendengarkan kelompok orang yang berteriak-teriak... dan tetap berjuang mempertahankan pendiriannya jika memang dirinya benar. Perlakukan dia dengan lembut, tapi jangan manjakan dia, karena hanya melalui tempaan apilah bisa tercipta baja yang terbaik. Biarkan dia memiliki keberanian untuk bersikap tidak sabar. Biarkan dia memiliki kesabaran untuk bersikap berani. Ajari dia untuk selalu mempunyai kepercayaan yang sungguh-sungguh pada dirinya, karena dengan begitu ia akan memiliki kepercayaan pada sesamanya. Pesan ini sangat penting, namun lakukan saja sebisa Anda. Putra saya adalah anak laki-laki yang baik!" -Abraham Lincoln- SUMBER:www.andriewongso.com

Penerbangan Kelas Pertama

Alkisah, dalam sebuah penerbangan dari Johannesburg, seorang perempuan setengah baya asal Afrika Selatan yang berkulit putih baru mengetahui dirinya mendapat kursi di samping seorang pria berkulit hitam. Perempuan itu memanggil kru kabin dan mengeluhkan masalah penempatan tempat duduknya. "Ada masalah apa, Ibu?" tanya kru kabin dengan sopan. "Kamu tidak bisa lihat sendiri, ya?" ujar perempuan itu dengan nada tajam. "Kamu tempatkan saya di samping seorang kulit hitam. Aku tidak mungkin bisa duduk di sebelah manusia menjijikan ini. Carikan saya kursi yang lain!" "Harap tenang dulu, Bu," timpal seorang pramugari. "Hari ini pesawat sudah penuh, tapi saya akan coba bantu Ibu ya. Saya akan cek apakah masih ada kursi kosong di kelas ekonomi atau kelas pertama." Perempuan itu melirik dengan tatapan sombong ke arah pria berkulit hitam di sampingnya (dan penumpang lain di sekitarnya). Beberapa menit kemudian, pramugari tadi kembali dengan berita bagus, yang disampaikannya kepada perempuan setengah baya itu. Si perempuan itu memandang ke sekitarnya dengan senyuman penuh kepuasan. "Ibu, sayang sekali, seperti yang saya duga, kelas ekonomi sudah penuh. Tapi, kami masih punya kursi kosong di kelas pertama." Sebelum perempuan itu sempat menjawab, si pramugari melanjutkan... "Peningkatan kelas seperti ini jarang terjadi, tapi saya sudah mendapat izin khusus dari kapten kami. Tapi melihat kondisi yang ada, kapten kami merasa sangatlah memalukan jika seseorang harus dipaksa untuk duduk di sebelah orang yang sangat menjengkelkan." Setelah berkata begitu, pramugari itu langsung beralih pada pria berkulit hitam yang duduk di samping perempuan itu. Kata si pramugari, "Jadi jika Anda bersedia memindahkan barang-barang Anda, Pak, saya akan menyiapkan kursinya buat Anda...." Saat itu juga, penumpang di sekitar serempak berdiri dan bertepuk tangan ketika pria berkulit hitam itu berjalan menuju bagian depan pesawat. SUMBER:www.andriewongso.com

Emas dan Permata

Alkisah, di sebuah negeri, hiduplah seorang guru yang terkenal bijaksana. Suatu hari, ada seorang pemuda mendatanginya dan bertanya, "Saya tidak paham kenapa orang besar seperti Guru berpakaian sangat sederhana. Bukankah di zaman sekarang ini berpakaian bagus itu penting, tidak hanya untuk penampilan tapi juga untuk alasan lainnya?" Sang guru hanya tersenyum dan mencopot cincinnya dari salah satu jarinya, lalu berkata, "Anak muda, saya akan jawab pertanyaanmu, tapi lakukan dulu satu hal ini: ambil cincin ini dan pergilah ke pasar di seberang jalan ini, bisakah kamu menjualnya seharga sekeping emas?" Setelah melihat cincin sang guru yang kotor, seketika anak muda itu menjadi ragu. "Sekeping emas? Wah... saya tak yakin cincin seperti ini bisa dijual dengan harga tinggi." "Coba saja dulu, anak muda. Siapa tahu, bisa." Pemuda itu pun segera pergi ke pasar. Ia menawarkan cincin itu ke penjual kain, penjual sayuran, tukang daging, penjual ikan, dan pedagang lainnya. Ternyata memang tidak ada yang mau membayarnya seharga sekeping emas. Akhirnya, si pemuda datang kembali ke kediaman sang guru dan memberi tahu dengan suara lemah, "Tidak ada yang berani menawarnya lebih dari sekeping perak." Dengan senyuman bijak di wajahnya, sang guru berkata, "Sekarang pergilah ke Toko Emas di belakang jalan ini. Tunjukkan cincin ini pada pemiliknya atau penjual emas. Jangan sebut harga tawaranmu! Pokoknya, dengarkan saja harga yang akan mereka tawarkan untuk cincin ini." Maka, pergilah si pemuda ke toko yang disebutkan sang guru dan kembali dengan ekspresi yang berbeda. Ia lalu berkata dengan penuh semangat, "Guru, pedagang-pedagang di pasar sama sekali tidak tahu harga cincin ini. Si penjual emas menawar cincin ini seribu keping emas, seribu kali tawaran pedagang di pasar! Sang guru hanya tersenyum dan berkata pelan, "Itulah jawaban dari pertanyaanmu, anak muda. Seseorang tidak bisa dinilai hanya dari pakaiannya saja. Pedagang di pasar memberimu nilai sekecil itu, tapi berbeda dengan penjual emas tadi." Kerabat Imelda... "Emas" dan "permata" di dalam diri seseorang hanya bisa dilihat dan dinilai jika kita dapat melihatnya jauh ke dalam jiwa. Diperlukan hati untuk melihatnya, dan dibutuhkan proses. Kita tidak bisa melihatnya dari ucapan atau perilaku yang hanya kita lihat sesekali. Sering kali apa yang kita anggap emas ternyata hanya sebongkah kuningan, tapi apa yang kita kira kuningan ternyata sebongkah emas. Maka, kita perlu hati-hati melihat seseorang. Jangan mudah menilai dari apa yang tampak karena kita bisa terperangkap oleh sudut pandang kita yang sempit, yang tidak tahu bahwa sebenarnya orang yang kita nilai itu punya kelebihan. SUMBER: Andrie Wongso - www.andriewongso.com

Akhirnya Pertikaian Itu Berakhir

Hari ini adalah hari "kemerdekaanku", begitu aku menyebutnya. Hari yang telah kunanti hampir dua tahun. Entah mengapa hari ini aku memilih mengenakan kaos berwarna pink dan celana jeans untuk kerja di hari Sabtu, mungkin sesuai suasana hatiku yang gembira. Padahal aku termasuk perempuan yang tidak menyukai warna pink dan kaos pink ini adalah pemberian seorang teman, bukan aku yang membelinya. Pikiranku kembali pada perjalanan hidupku di kantor selama dua tahun terakhir ini. Di mulai saat aku bekerja di sebuah perusahaan ternama di kotaku. Aku menduduki posisi manager. Sebelumnya aku bekerja sebagai supervisor di sebuah perusahaan farmasi. Meskipun sedikit gugup di hari pertama, aku berusaha menyesuaikan diri. Beruntung karena di level management, sebagian besar adalah orang orang yang sudah kukenal. Aku membawahi sekitar dua puluh orang di departemen yang kupimpin, dengan seorang supervisor bernama Winda. Saat ini Winda sedang cuti melahirkan, sehingga aku belum berkenalan dengannya. Hari hari kulalui dengan mempelajari pekerjaan baru, mengenal karakter stafku dan menjalin kerjasama di dalam team. Semua berjalan lancar sampai suatu hari Winda masuk, setelah cutinya habis. Kami berkenalan dan aku menjelaskan hal hal yang terjadi selama dia cuti. Winda menanggapi dengan dingin. Setiap kali aku berkoordinasi dengannya mengenai pekerjaan, dia bersikap acuh. Setiap kali aku bertanya tentang pekerjaan, dia menjawab dengan sekenanya. Meskipun tempat duduk kami hanya berjarak satu meter setengah, tetapi kami dapat dikatakan tidak pernah berkomunikasi. Lama lama aku merasakan sikap sebagian staffku berubah. Mereka menjadi jarang berkomunikasi denganku dan mulai membantah setiap kali menyatakan pendapat. Mereka selalu berkomunikasi mengenai pekerjaan dengan Winda. Sementara Winda membuat keputusan tanpa memberitahuku. Saat aku menegurnya, Winda akan memberikan banyak alasan dengan nada sinis, untuk membela diri. Aku menjadi kehilangan kesabaran. Saat Winda membantah, aku mulai emosi, dengan nada keras akupun menegurnya. Melihat situasi tersebut, beberapa staf yang telah lama mengenal sifatnya mengatakan agar aku tidak terpancing emosi. Menurut mereka, Winda sengaja memancing emosiku agar aku tampak sebagai pimpinan yang gampang marah dan tidak menguasai pekerjaan. Hal berat untuk bersabar menghadapi Winda yang setiap saat berusaha memancing emosiku. Beruntung aku dapat bertahan. Apabila Winda gagal memancing emosiku, maka dia akan menggosipkanku dengan beberapa temannya. Aku hanya bisa menutup telinga, berpura pura tidak mendengar. Ketidakcocokan kamipun sampai ke telinga atasanku dan direktur. Mereka berulangkali memanggil kami, menyarankan agar kami dapat bekerjasama. Tapi semua itu gagal. Kemudian aku mengetahui mengapa Winda bersikap memusuhiku. Ternyata orang sebelumku menjanjikan Winda untuk menggantikannya. Sayangnya manajemen tidak menyetujui dan memutuskan untuk mencari orang daril uar perusahaan dan masuklah aku. Betapa kecewanya Winda, setelah masuk dari cuti melahirkan, posisi manager sudah kutempati. Mungkin kalau aku diposisi Winda, aku akan melakukan hal yang sama. Beberapa teman menyarankan agar saya berkomunikasi menggunakan email dan di-cc-kan kepada direktur tempatku bekerja. Aku menuruti saran mereka. Setiap komunikasi mengenai pekerjaan aku lakukan menggunakan email. Winda pun membalas emailku dengan nada sinis. Hal ini terlihat dari cara penulisannya yang sering menggunakan huruf besar, tanda seru dan tentu saja kata-kata yang ditulisnya. Sampai atasanku sempat menegurnya agar menulis email dengan hormat. Dengan adanya email, membuktikan bahwa yang bersikap sinis adalah Winda. Suatu hari aku meminta stafku untuk entry suatu transaksi di program komputer. Ternyata Winda telah meminta staf lain untuk melakukan hal yang sama. Ketika Winda mengetahui bahwa aku telah menyuruh seorang staf untuk melakukan hal yang sama, Winda marah, dengan suara keras dia menyalahkanku, sampai seluruh ruangan mendengar pertengakaran kami. Aku berusaha untuk tidak terpancing emosi, aku hanya menjawab dengan nada tegas, tetapi tidak berteriak sambil menatapnya dengan tajam. Akhirnya dia keluar ruangan dengan suara kaki yang kasar. Atasanku mendengar pertengkaran kami, dia memanggil kami satu per satu dan beberapa anak yang mendengarkan pertengkaran kami. Setelah itu atasanku mempertemukan kami berdua. Sekali lagi kami berdua tetap teguh dengan dengan pendapat kami masing-masing. Atasanku memberi ultimatum agar dalam seminggu kami harus berbaikan. Aku hanya tersenyum sinis. Winda langsung menolak berbaikan denganku dan mengatakan lebih baik mengundurkan diri daripada berbaikan denganku. Atasanku tidak berkomentar apapun dan hanya berkata: “Ingat, waktu kalian hanya seminggu”. Beberapa hari kemudian direktur memanggilku, beliau menanyakan apakah aku siap mengurusi pekerjaan di departemen yang aku pimpin apabila Winda mengundurkan diri. Tentu saja aku jawab siap, bahkan di dalam hatiku berkata semakin cepat semakin baik. Menurut sumber yang aku dengar, direktur kurang yakin apakah aku mampu menjalankan tugas dengan baik tanpa Winda, mengingat Winda sudah lama bekerja. Akhirnya Winda mengajukan surat pengunduran diri dengan alasan mau mengurus anak. Saat mendengarnya, aku merasa seperti mimpi. Rasanya tak sabar menanti sebulan lagi saat dia berhenti, dan sekarang saatnya. Hari ini hari terakhir dia bekerja. Lucunya dia juga mengenakan kaos pink, padahal dia jarang mengenakan kaos pink. Mungkin dia juga merasa hari ini adalah hari kebebasannya, terlepas dari pertikaian selama ini. Kami melaksanakan serah terima dan saling berjabat tangan sekedar formalitas. Aku lega, pertikaian ini berakhir. Sejujurnya aku juga berterima kasih kepada Winda, karena pertikaian ini justru mengajariku untuk mengendalikan emosi dan lebih bersabar. SUMBER:perempuan.com

Menerima Kekurangan

Di dunia ini tak ada yang sempurna. Itu sudah pasti. Nobody is perfect, kata peribahasa. Tetapi ada sebagian orang yang merasa kelemahan yang dimilikinya merupakan bawaan yang tak bisa diatasi. Lahir dari keluarga miskin merasa tak mungkin bisa kaya raya. Padahal banyak orang yang sudah bisa membuktikan sebaliknya: Lahir miskin lalu dengan bekerja keras akhirnya bisa jadi orang kaya. Ada juga yang memiliki kekurangan fisik. Karena ada cacat lalu merasa hidupnya tak beruntung, merasa jadi manusia terpinggirkan, tak mungkin sukses, merasa tak berdaya, merasa hidupnya hanya menunggu belas kasihan orang. Padahal kita tahu, banyak contoh orang-orang difabel yang sukses luar biasa di kehidupannya. Mumpung dalam suasana pergelaran Piala Eropa, saya ambil contoh seorang pemain sepakbola yang luar biasa, yaitu Lionel Messi. Meski ia tak main di kejuaraan ini karena orang Argentina, apa yang dialaminya cukup inspiratif. Messi sewaktu kecil mengalami proses pertumbuhan yang tidak normal. Badannya kekurangan hormon yang menghambat pertumbuhan tulangnya sehingga Messi bertubuh kecil dibanding anak-anak seusianya. Gara-gara penyakit itu ia ditolak klub sepakbola kenamaan Argentina. Dokternya juga meminta Messi untuk tidak latihan sepakbola. Namun alih-alih berhenti bermain bola Messi malah terus berlatih dengan sembunyi-sembunyi. Bakatnya yang luar biasa akhirnya diketahui pemandu talenta dari klub sepakbola Spanyol, Barcelona. Klub ini lalu mengontraknya dan membiayai pengobatan Messi agar bisa tumbuh normal. Kita sekarang tahu siapa Messi. Di Barcelona ia menjelma menjadi pemain hebat. Bahkan saat ini ia adalah pemain sepakbola terbaik di dunia. Messi menunjukkan bahwa kekurangannya bukan penghambat baginya. Masih banyak contoh lain baik dari dunia olahraga, bisnis, atau bidang-bidang lainnya. Mereka tak mengeluhkan kekurangannya. Mereka justru mengoptimalkan kelebihannya untuk meraih kesuksesan hidup. Dan dengan bekerja keras akhirnya mereka sukses luar biasa. Misalnya Stephen Hawking yang tubuhnya lumpuh dan hidupnya hanya di atas kursi roda. Dengan kondisi seperti itu ternyata ia bisa berhasil menjadi ilmuwan fisika kenamaan dunia saat ini. Kerabat Imelda...Memang di dunia ini tak ada yang sempurna. Tapi ketidaksempurnaan itu bukan sumber kegagalan. Kebanyakan orang yang gagal bukan karena tidak memiliki talenta, modal, atau kesempatan. Mereka gagal karena tidak pernah menyusun rencana untuk mengisi kehidupan mereka dengan sukses. Karena itu, mari sadari bahwa kekurangan kita bukan hambatan untuk sukses. Kita pasti memiliki kelebihan. Yang harus kita lakukan adalah menemukan kelebihan kita, mengoptimalkannya, bekerja keras, tak mudah menyerah, dan mengembangkan sikap positif lainnya. Sukses pasti milik kita! SUMBER:Andrie Wongso - www.andriewongso.com

Ayah Luar Biasa

Seorang anak 10 tahun bernama Putra, pada suatu malam akan menonton sirkus bersama ayahnya. Ketika tiba di loket, dia dan ayahnya antre di belakang rombongan keluarga besar yang terdiri dari bapak, ibu, dan empat orang anaknya. Dari pembicaraan yang terdengar, Putra tahu bahwa bapak dari ke-4 anak tadi telah bekerja ekstra untuk dapat mengajak anak-anaknya nonton sirkus malam itu. Namun ketika sampai di loket dan hendak membayar, wajah bapak 4 anak itu tampak pucat. Ternyata uang yang telah dikumpulkannya dengan susah payah tidak cukup, kurang Rp 20.000. Pasangan suami istri itu pun saling berbisik, tentang bagaimana harus menjelaskan kepada anak-anak mereka yang masih kecil, bahwa malam itu mereka batal nonton sirkus karena uangnya kurang. Padahal mereka tampak begitu gembira dan sudah tidak sabar lagi untuk segera masuk ke arena pertunjukan sirkus. Tiba-tiba ayah Putra menyapa bapak yang sedang kebingungan itu sambil berkata, "Maaf, Pak! Uang ini tadi jatuh dari saku Bapak." Kemudian, diserahkannya lembaran Rp 20.000 sambil mengedipkan matanya dan terseyum. Betapa takjubnya si Bapak, dengan apa yang dilakukan ayah Putra. Dengan mata berkaca-kaca, ia menerima uang itu dan berbisik mengucapkan terima kasih kepada ayah Putra, sambil mengatakan betapa Rp 20.000 itu sangat berarti bagi keluarganya. Setelah rombongan tadi masuk, Putra dan ayahnya bergegas pulang. Mereka batal nonton sirkus, karena uang untuk menyaksikan sirkus sudah diberikan kepada keluarga besar tadi. Tapi Putra justru merasa sangat bahagia. Ia memang tidak dapat menyaksikan sirkus, tetapi ia telah menyaksikan dua orang ayah yang luar biasa. Kerabat Imelda, kebahagiaan tidak hanya diperoleh ketika menerima pemberian orang lain, tetapi juga pada saat kita MAMPU MEMBERI. Cerita di atas juga menunjukkan bagaimana menolong orang lain dengan cara yang sangat halus, tanpa menyinggung harga diri orang yang ditolong. Dunia ini terus berputar. Ada kalanya kita menolong, dan ada kalanya kita juga memerlukan pertolongan dari orang lain. Maka, selagi masih mampu, tetap lakukan kebaikan dengan ikhlas dan bijaksana. SUMBER:www.andriewongso.com

Senjata Itu Tak Pernah Memakan Korban

Ini kesekian kali aku bertemu dengan seorang pengamen yang kebetulan selalu muncul di jam-jam yang sama, di atas bis yang mengantarku pulang setiap malam. Aku baru bekerja 3 bulan ini, dan baru 3 bulan pula rutin melintasi jalan ini dengan rute bis yang sama. Pengamen ini segera menarik perhatianku, karena walaupun bibirnya menghitam kelam karena rokok dan celana serta bajunya nampak usang, dia berusaha tampil bersih dan rapi. Lagu-lagunya tak pernah cemen, dan dinyanyikan dengan lantang tak merayu. Satu lagi, sorot mata itu.. tajam dan kuat. Suatu kali, bis setengah kosong dan karena itu dia punya waktu luang untuk sekedar duduk menanti pemberhentian berikutnya. Aku beruntung dia duduk di dekatku, dan aku memulai percakapan. Beberapa kali bertemu dalam satu minggu selama berbulan-bulan membuatku tidak sulit untuk mulai menyapanya. Aku membicarakan tempat pemberhentian berikutnya, jalur bis yang dia tumpangi, cuaca dan hal-hal ringan lainnya. Tapi sepertinya orang ini tahu aku menganggapnya tidak biasa, dan dia tidak keberatan untuk membuka sedikit cerita masa lalunya. "Aku dulu tentara." Dia memulai cerita dengan tiga kata yang membuatku paham mengapa tampilannya berbeda dari pengamen pada umumnya. Sejak remaja, dia sudah menunjukkan bakat menembak yang luar biasa. Bersama teman dan pamannya dia sering berburu ke hutan, mengasah ketepatan bidikan demi bidikan. Namun dia sendiri tidak pernah membunuh hewan dengan berlebihan. Setiap hewan buruan dia pastikan tidak tersia-sia dengan menjadikannya bahan makanan. Tibalah kesempatan untuk menyalurkan bakatnya guna melindungi orang lain ketika ada tawaran untuk menjadi tentara. Segera setelah selesai masa pendidikan dia menjadi sniper ulung. Negara mengirimnya ke medan perang; dan di sinilah dirinya diuji. Dia tidak pernah menembak orang, di medan peperangan pikirannya sangat kacau karena tidak mau membunuh orang yang tidak bersalah. Puncaknya adalah ketika dia harus menembak seorang wanita yang sedang berjalan di dekat anak kecil. Dia tidak bisa melakukannya. Wanita itu tidak melakukan apa-apa, dan ada anak kecil bersamanya. Matanya basah karena air mata dan karena itu dia tidak bisa membidik dan akhirnya menolak untuk menembak. Segera dia dibebastugaskan, menjalani hukuman karena menolak perintah dan masuk daftar hitam sehingga tidak bisa mendapatkan pekerjaan di mana pun. "Aku tidak menyesal.. Sampai hari ini pun aku tidak menyesal," jawabnya ketika kutanya bagaimana perasaannya sekarang. "Aku ingin melindungi orang, bukan membunuhnya. Sekarang aku tidak punya tempat tinggal dan makan dari mengamen, tapi aku masih bisa hidup dengan cara seperti ini. Jika dulu aku menembak wanita tak bersalah itu, aku tidak akan bisa hidup lagi. Aku yakin." Aku termangu mencerna kalimat-kalimat terakhirnya. Bagi sebagian orang hidup di jalanan dan tidak bertempat tinggal adalah akhir dari hidup. Mungkin lebih baik mati daripada menjalani hidup yang demikian. Banyak orang memilih lebih baik mengambil kehidupan dan kebahagiaan orang lain agar bisa tetap hidup enak dan terhormat. Pengamen ini membuktikan dirinya jauh lebih mulia dari banyak orang. SUMBER: EW Andayani - kapanlagi.com

Sesuatu Terjadi Karena Sebuah Alasan

Saat terjadi sesuatu yang baik, rasanya mudah saja untuk mengatakan 'memang sesuatu terjadi karena sebuah alasan'. Berbeda jika hal itu adalah buruk dan menjengkelkan, tiada henti-hentinya kita menanyakan 'mengapa ini terjadi?'. Tidak hanya peristiwa, orang yang kita temui setiap harinya juga hadir karena sebuah alasan; dan alasan itu selalu positif jika kita mau berpikir secara proses, tidak hanya dari hasilnya saja. Seringkali kita harus berhadapan dengan situasi yang menyakitkan, dan merasa bertemu dengan orang-orang yang salah. Sebagian orang memilih untuk melupakan dan tidak mau tahu dengan hal-hal buruk itu, sementara sebagian lainnya tidak bisa menerima keadaan dengan menuntut ganti rugi dan meluapkan kemarahan atau membalas dendam. Berapa banyak orang yang bisa berdamai dengan rasa sakit dan menyadarinya sebagai suatu proses? Rasa sakit, kesedihan dan kekecewaan bukanlah sesuatu untuk dilupakan, tidak juga untuk dihilangkan dengan menuntut balas. Cara yang terbaik untuk melaluinya adalah dengan menerima dan mengolah rasa yang merugikan ini menjadi sesuatu yang membangun diri. Bahkan hal buruk pun sebenarnya ikut membentuk pola pikir dan kebijaksanaan seseorang dalam menghadapi sesuatu. Dalam keadaan berkelimpahan mungkin tidak pernah terpikir untuk menghemat dan memanfaatkan fungsi barang dengan lebih efisien. Rasa tidak berdaya karena keterbatasan memang menyakitkan; seringkali kita dipandang remeh dan harus menahan keinginan karena tidak mampu membeli. Namun jika dilihat sebagai proses, keadaan itu membentuk gaya hidup yang lebih efisien, sederhana dan hemat. Pada saatnya, ketika kesuksesan di tangan, kita bisa menjadi seorang yang berkelimpahan dengan gaya hidup yang lebih bijak. Berinteraksi dengan orang yang salah akan menimbulkan kekecewaan dan juga kerugian. Namun orang itu juga mengingatkan kita agar tidak berlaku yang sama pada orang lain. Dia menjadi jalan bagi kita untuk belajar bagaimana harus bersikap di saat kecewa dan jengkel. Keimanan dan prinsip hidup benar-benar diuji dalam hal yang demikian, membentuk kita menjadi pribadi-pribadi yang lebih matang. Berhentilah terpuruk dan marah karena sesuatu yang buruk, segeralah tersenyum karena Anda sedang mendapatkan satu lagi pelajaran dan pengalaman baru. SUMBER: EW Andayani - kapanlagi.com

Amarah Becky

Kisah ini terjadi tahun 1970-an. Ada seorang ibu yang punya cara sendiri untuk "menghukum" anaknya. Hukuman yang malah lebih mengesankan dibanding pukulan di badan atau tamparan di muka. Suatu hari anak bungsu ibu ini, yang berusia empat tahun, mendapat hukuman mengesankan ini. Dan hukuman itu menjadi kenangan yang paling tak terlupakan dalam hidup si anak bungsu. Beginilah kisahnya. Ibu yang istimewa ini melakukan dua "pekerjaan", yaitu sebagai mahasiswa dan seorang ibu rumah tangga. Di siang hari, ia akan kuliah sementara anak sulungnya bersekolah dan si bungsu dititipkan ke tempat penitipan anak. Suatu hari di tempat penitipan, si bungsu yang bernama Becky ini melihat seorang ibu yang terlihat sangat letih menjemput anak laki-lakinya. Si anak bertanya, "Mama, apa kita akan makan malam di restoran?" Si ibu menjawab, "Sayang, jangan malam ini, ya. Mama masih ada sedikit urusan, lalu kita pulang dan buat makanan untuk Papa." "Tapi, aku ingin pergi ke sana!" "Ron. Mama bilang tidak malam ini. Mungkin, kalau kamu jadi anak baik, kita bisa pergi besok." Mendengar jawaban ibunya, anak itu langsung duduk di lantai, menendang-nendang kakinya dan berteriak, "Aku ingin pergi makan di restoran..!!" Tidak satu pun permintaan atau omelan ibunya mampu menghentikan rengekan Ron. Akhirnya, si ibu menyerah, "Oke, kita pergi makan di restoran." Ron langsung berhenti berteriak, tersenyum cerah, dan meraih tangan ibunya. Mereka pun segera pergi. Semua kejadian ini membuat Becky kagum. Ia senang ternyata segala kemauannya bisa terpenuhi dengan bersikap seperti anak tadi. Ia pun ingin mencobanya sendiri. *** Sore hari, ibunya menjemput Becky lebih awal karena mereka akan mampir ke sebuah toko untuk berbelanja. Di toko itu, Becky begitu terkesan dengan barang-barang yang dipajang di rak-rak. Hingga akhirnya ia tertarik dengan satu mainan, yang berupa telepon berwarna merah putih. Dengan mata penuh minat, Becky bertanya pada ibunya, "Mama, bisakah aku membeli telepon itu?" Si ibu berkata pelan, "Sayang, tidak sekarang, ya. Tapi kalau kamu jadi anak baik mungkin kamu akan dapat mainan itu untuk hadiah ulang tahunmu." "Tapi Mama, aku pinginnya sekarang." Mata si ibu menyipit dan tangannya semakin erat memegang tangan anak bungsunya. "Becky, kamu tidak bisa dapat teleponnya hari ini, tapi kalau kamu masih membandel ibu akan memukulmu." Saat itu mereka sedang berada di tengah toko yang lumayan ramai pengunjungnya. Becky memutuskan inilah saatnya untuk melakukan trik yang tadi dilakukan Ron. Maka ia pun duduk di lantai dan mulai berteriak-teriak, "Aku mau telepon itu...!!" Para pengunjung memperhatikan Becky dan ibunya. Dengan lembut, si ibu berkata, "Becky, ayo Nak bangun. Mama hitung sampai tiga, ya. Satu... Dua... Tiga...." Becky tak beranjak sedikit pun. Ia tetap saja merengek. Lalu tanpa diduga-duga, si ibu duduk juga di samping Becky, dan mulai menendang-nendang kakinya dan berteriak, "Aku mau mobil baru! Aku mau rumah baru..! Aku mau perhiasan, aku mau...." Karena terkaget-kaget, Becky segera berdiri. "Mama, berhentilah. Mama, ayo bangun," Becky memohon dengan terisak-isak. Si ibu pun berdiri, dan membersihkan celananya. Seluruh pengunjung yang melihat awalnya terkejut dan bingung, lalu mulai terdengar satu tepuk tangan yang disusul dengan tepukan lainnya. Mereka bersorak dan beberapa ada yang memberi selamat pada si ibu. Mendapat respons seperti itu, pipi si ibu memerah. Ia sedikit membungkukkan badan, tanda terima kasih. Setengah jam berikutnya bisa dibilang memberikan "kesengsaraan" bagi Becky. Ia merasa sangat malu karena banyak orangtua di situ yang berkata padanya sambil tersenyum, "Ibumu mendidikmu sangat baik. Pasti kamu tidak kan pernah mencobanya lagi." Ke depannya, memang itulah yang dilakukan Becky. Ia tak pernah lagi berbuat seperti itu karena kejadian memalukan itu teramat sangat membekas di benaknya, melebihi bekas pukulan atau tamparan di badan. SUMBER: Tim AndrieWongso - andriewongso.com