Monday, July 30, 2012

Akhirnya Pertikaian Itu Berakhir

Hari ini adalah hari "kemerdekaanku", begitu aku menyebutnya. Hari yang telah kunanti hampir dua tahun. Entah mengapa hari ini aku memilih mengenakan kaos berwarna pink dan celana jeans untuk kerja di hari Sabtu, mungkin sesuai suasana hatiku yang gembira. Padahal aku termasuk perempuan yang tidak menyukai warna pink dan kaos pink ini adalah pemberian seorang teman, bukan aku yang membelinya. Pikiranku kembali pada perjalanan hidupku di kantor selama dua tahun terakhir ini. Di mulai saat aku bekerja di sebuah perusahaan ternama di kotaku. Aku menduduki posisi manager. Sebelumnya aku bekerja sebagai supervisor di sebuah perusahaan farmasi. Meskipun sedikit gugup di hari pertama, aku berusaha menyesuaikan diri. Beruntung karena di level management, sebagian besar adalah orang orang yang sudah kukenal. Aku membawahi sekitar dua puluh orang di departemen yang kupimpin, dengan seorang supervisor bernama Winda. Saat ini Winda sedang cuti melahirkan, sehingga aku belum berkenalan dengannya. Hari hari kulalui dengan mempelajari pekerjaan baru, mengenal karakter stafku dan menjalin kerjasama di dalam team. Semua berjalan lancar sampai suatu hari Winda masuk, setelah cutinya habis. Kami berkenalan dan aku menjelaskan hal hal yang terjadi selama dia cuti. Winda menanggapi dengan dingin. Setiap kali aku berkoordinasi dengannya mengenai pekerjaan, dia bersikap acuh. Setiap kali aku bertanya tentang pekerjaan, dia menjawab dengan sekenanya. Meskipun tempat duduk kami hanya berjarak satu meter setengah, tetapi kami dapat dikatakan tidak pernah berkomunikasi. Lama lama aku merasakan sikap sebagian staffku berubah. Mereka menjadi jarang berkomunikasi denganku dan mulai membantah setiap kali menyatakan pendapat. Mereka selalu berkomunikasi mengenai pekerjaan dengan Winda. Sementara Winda membuat keputusan tanpa memberitahuku. Saat aku menegurnya, Winda akan memberikan banyak alasan dengan nada sinis, untuk membela diri. Aku menjadi kehilangan kesabaran. Saat Winda membantah, aku mulai emosi, dengan nada keras akupun menegurnya. Melihat situasi tersebut, beberapa staf yang telah lama mengenal sifatnya mengatakan agar aku tidak terpancing emosi. Menurut mereka, Winda sengaja memancing emosiku agar aku tampak sebagai pimpinan yang gampang marah dan tidak menguasai pekerjaan. Hal berat untuk bersabar menghadapi Winda yang setiap saat berusaha memancing emosiku. Beruntung aku dapat bertahan. Apabila Winda gagal memancing emosiku, maka dia akan menggosipkanku dengan beberapa temannya. Aku hanya bisa menutup telinga, berpura pura tidak mendengar. Ketidakcocokan kamipun sampai ke telinga atasanku dan direktur. Mereka berulangkali memanggil kami, menyarankan agar kami dapat bekerjasama. Tapi semua itu gagal. Kemudian aku mengetahui mengapa Winda bersikap memusuhiku. Ternyata orang sebelumku menjanjikan Winda untuk menggantikannya. Sayangnya manajemen tidak menyetujui dan memutuskan untuk mencari orang daril uar perusahaan dan masuklah aku. Betapa kecewanya Winda, setelah masuk dari cuti melahirkan, posisi manager sudah kutempati. Mungkin kalau aku diposisi Winda, aku akan melakukan hal yang sama. Beberapa teman menyarankan agar saya berkomunikasi menggunakan email dan di-cc-kan kepada direktur tempatku bekerja. Aku menuruti saran mereka. Setiap komunikasi mengenai pekerjaan aku lakukan menggunakan email. Winda pun membalas emailku dengan nada sinis. Hal ini terlihat dari cara penulisannya yang sering menggunakan huruf besar, tanda seru dan tentu saja kata-kata yang ditulisnya. Sampai atasanku sempat menegurnya agar menulis email dengan hormat. Dengan adanya email, membuktikan bahwa yang bersikap sinis adalah Winda. Suatu hari aku meminta stafku untuk entry suatu transaksi di program komputer. Ternyata Winda telah meminta staf lain untuk melakukan hal yang sama. Ketika Winda mengetahui bahwa aku telah menyuruh seorang staf untuk melakukan hal yang sama, Winda marah, dengan suara keras dia menyalahkanku, sampai seluruh ruangan mendengar pertengakaran kami. Aku berusaha untuk tidak terpancing emosi, aku hanya menjawab dengan nada tegas, tetapi tidak berteriak sambil menatapnya dengan tajam. Akhirnya dia keluar ruangan dengan suara kaki yang kasar. Atasanku mendengar pertengkaran kami, dia memanggil kami satu per satu dan beberapa anak yang mendengarkan pertengkaran kami. Setelah itu atasanku mempertemukan kami berdua. Sekali lagi kami berdua tetap teguh dengan dengan pendapat kami masing-masing. Atasanku memberi ultimatum agar dalam seminggu kami harus berbaikan. Aku hanya tersenyum sinis. Winda langsung menolak berbaikan denganku dan mengatakan lebih baik mengundurkan diri daripada berbaikan denganku. Atasanku tidak berkomentar apapun dan hanya berkata: “Ingat, waktu kalian hanya seminggu”. Beberapa hari kemudian direktur memanggilku, beliau menanyakan apakah aku siap mengurusi pekerjaan di departemen yang aku pimpin apabila Winda mengundurkan diri. Tentu saja aku jawab siap, bahkan di dalam hatiku berkata semakin cepat semakin baik. Menurut sumber yang aku dengar, direktur kurang yakin apakah aku mampu menjalankan tugas dengan baik tanpa Winda, mengingat Winda sudah lama bekerja. Akhirnya Winda mengajukan surat pengunduran diri dengan alasan mau mengurus anak. Saat mendengarnya, aku merasa seperti mimpi. Rasanya tak sabar menanti sebulan lagi saat dia berhenti, dan sekarang saatnya. Hari ini hari terakhir dia bekerja. Lucunya dia juga mengenakan kaos pink, padahal dia jarang mengenakan kaos pink. Mungkin dia juga merasa hari ini adalah hari kebebasannya, terlepas dari pertikaian selama ini. Kami melaksanakan serah terima dan saling berjabat tangan sekedar formalitas. Aku lega, pertikaian ini berakhir. Sejujurnya aku juga berterima kasih kepada Winda, karena pertikaian ini justru mengajariku untuk mengendalikan emosi dan lebih bersabar. SUMBER:perempuan.com

No comments: