Setelah beranjak dewasa saya akhirnya memasuki usia perkawinan, dan perlahan-lahan saya pun mengetahui akan jawaban ini. Di masa awal perkawinan, saya juga sama seperti ibu, berusaha menjaga demi keutuhan keluarga, menyikat panci dan membersihkan lantai, dengan sungguh-sungguh berusaha memelihara perkawinan sendiri.
Namun anehnya saya tidak merasa bahagia dan suamiku sendiri sepertinya tidak bahagia.
Saya kemusian duduk merenung, apa mungkin lantai ini kurang bersih, atau masakan tidak enak?. Lalu dengan giat saya membersihkan lantai lagi dan memasak dengan sepenuh hati. Namun rasanya kami berdua tetap saja merasa tidak bahagia.
Suatu hari, ketika saya sedang sibuk membersihkan lantai, suamiku memanggilku.
“Istriku, temani aku sejenak untuk mendengarkan alunan musik…”
Dengan mimik yang tidak senang akupun menjawab ajakannya
“Apa tidak melihat masih ada separuh lantai lagi yang belum dibersihkan..?”
Begitu kata-kata ini terlontar saya pun termenung kembali, kata-kaa yang tidak asing lagi ditelinga, dalam hubungan perkawinan ayah dan ibu saya, ibu juga kerap berkata begitu sama kepada ayah.
Rupanya saya sedang menunjukkan kembali hubungan perkawinan ayah dan ibu, sekaligus mengulang kembali ketidakbahagiaan dalam ikatan perkawinan mereka. kemudian beberapa kesadaran muncul dalam pikiran saya. Yang kamu inginkan?.
Tak banyak bicara, saya pun menghenghentikan pekerjaan saya, lalu memandang kearah suamiku, dan teringat akan ayah saya… Ia selalu tidak mendapatkan pasangan yang dia inginkan dalam perkawinannya.
Waktu ibu menyikat panci lebih lama daripada menemaninya.
Terus menerus mengerjakan urusan rumah tangga, adalah cara ibu dalam mempertahankan perkimpoian, ia memberi ayah sebuah rumah yang bersih, namun, jarang menemaninya, sibuk mengurus rumah, ia berusaha mencintai ayah dengan caranya, dan cara ini adalah mengerjakan urusan rumah tangga.
Dan aku, aku juga menggunakan caraku berusaha mencintai suamiku.
cara saya juga sama seperti ibu, perkimpoian saya sepertinya tengah melangkah ke dalam sebuah cerita, dua orang yang baik mengapa tidak diiringi dengan perkimpoian yang bahagia.
Kesadaran saya membuat saya membuat keputusan (pilihan) yang sama.
Saya hentikan sejenak pekerjaan saya, lalu duduk di sisi suami, menemaninya mendengar musik, dan dari kejauhan, saat memandangi kain pel di atas lantai seperti menatapi nasib ibu.
Saya bertanya pada suamiku : “Apa yang kau butuhkan?”
Aku membutuhkanmu untuk menemaniku mendengar musik, rumah kotor sedikit tidak apa-apa-lah, nanti saya carikan pembantu untukmu, dengan begitu kau bisa menemaniku! ujar suamiku.
Saya kira kamu perlu rumah yang bersih, ada yang memasak untukmu, ada yang mencuci pakianmu….dan saya mengatakan sekaligus serentetan hal-hal yang dibutuhkannya.
Semua itu tidak penting-lah! ujar suamiku. Yang paling kuharapkan adalah kau bisa lebih sering menemaniku.
Ternyata sia-sia semua pekerjaan yang saya lakukan, hasilnya benar-benar membuat saya terkejut.
Kami meneruskan menikmati kebutuhan masing-masing, dan baru saya sadari ternyata dia juga telah banyak melakukan pekerjaan yang sia-sia, kami memiliki cara masing-masing bagaimana mencintai, namun, bukannya cara pihak kedua.
SUMBER: perempuan.com
No comments:
Post a Comment