Tuesday, August 23, 2011

Kasih Sayang Ibu


Sang ibu berdiri di depan hakim menguraikan kisahnya yang pahit dengan anak perempuannya. Anak perempuan satu-satunya. Sang ibu telah mengorbankan masa mudanya, kesenangan dan kebahagiaannya demi anaknya.

Dia berkorban tidak keluar menonton hanya agar anaknya tidak ditinggal sendirian. Dia memakai pakaian yang koyak agar dapat membelikan anaknya gaun baru. Dia selalu mendahulukan anaknya atas dirinya; anak yang makan lebih dahulu dan ibu yang makan sisa anaknya.

Tetapi sang anak mengingkari budi ibu. Dia tidak menyukainya bahkan membencinya. Sang anak menilai ibunya sebagai penjaga penjara yang terbuat dari emas, tetapi melarangnya keluar bersama temannya dan menuntut darinya pertanggungjawaban yang berat setiap hari.

Kalau ia pulang, ibu selalu bertanya, "Dari mana Engkau? Siapa saja yang Engkau temui? Dan apa saja obrolan kalian?" Kalau sang anak duduk terdiam, ibunya bertanya, "Mengapa diam? Apa yang Engkau pikirkan?"

Perintah ibu pun tidak henti-hentinya; Cuci kakimu! Sisir rambutmu! Gosok gigimu! Duduk yang baik! Jangan cibirkan bibirmu ketika bicara! Dan lain-lain.

Sang anak memutuskan bahwa cara satu-satunya untuk bebas dari aneka belenggu itu adalah menghabisi ibunya. Maka setiap hari ia mencampurkan sedikit racun dalam makanan ibunya, yang mengakibatkan kesehatan sang ibu memburuk hingga dimasukkan ke rumah sakit. Para dokter menemukan bahwa ada racun yang diberikan kepadanya sejak tiga bulan yang lalu dan seandainya itu berlanjut selama seminggu lagi, niscaya ibu yang malang itu akan meninggal.

Polisi turun tangan dan akhirnya sang anak mengaku bahwa dialah yang memberi racun itu. Di depan pengadilan sang anak mengaku bahwa ia tidak menyesal atas perbuatannya karena dia tidak menyukai ibunya dan memang ingin melepaskan diri darinya. Hakim peradilan Sheffield Inggris terperanjat dan menyatakan bahwa kejahatan tersebut amat serius.

Ini adalah upaya pembunuhan yang disengaja dan dengan tekad yang kuat. Karena itu sang hakim memutuskan bahwa sang anak harus dimasukan dalam penjara anak-anak, tetapi karena undang-undang dalam kasus semacam ini menetapkan keharusan adanya persetujuan tertulis ibu, maka sang hakim mengharap kiranya sang ibu membubuhkan tanda tangan untuk persetujuannya.

Sang ibu memegang pena dengan tangan gemetar dan mulai menggoreskan tanda tangannya atas putusan itu. Tetapi tiba-tiba dia berhenti dan pena terjatuh dari tangannya. Ia lalu menoleh kepada hakim dengan air mata yang berlinang sambil berkata, "Saya harap berilah aku kesempatan sekali lagi, juga dia."

SUMBER:Buku "Yang Ringan Yang Jenaka" karangan M Quraish Shihab

No comments: