Tuesday, August 23, 2011

Tuhan Memberiku Banyak Anugerah


Namaku Aini (nama samaran), aku dilahirkan di sebuah kota besar di Timur Indonesia, usiaku saat ini 27 tahun dan memilki satu adik dan dua orang kakak. Perjalanan hidupku memang mengalami banyak liku-liku, suka duka, bahkan kepahitan hidup yang membuatku terus meneteskan air mata, hingga rasanya pada titik tertentu air mata ini habis terkuras oleh kepedihan hidup.

Pada mulanya kehidupanku terasa berjalan sangat normal. Keluarga kami cukup dihormati, karena ayahku adalah seorang kepala bagian di sebuah BUMN. Ayah adalah seorang sosok yang begitu hangat terhadap keluarga, walau dari mulutnya jarang terucap kata-kata sayang dan cinta, namun dari perlakuannya terhadap kami, aku yakin bahwa ayah amat menyayangi kami sekeluarga. Namun untuk urusan pendidikan, ayah bersikap sangat tegas dan keras.

Kebahagiaan semasa kecil, ternyata berlalu dengan sangat singkat. Semua bermula dengan jatuh sakitnya kakakku yang tertua, Sebut saja namanya Irfan (nama samaran). Irfan adalah anak kesayangan ayah, yang menurut ayah anak terpintar di keluarga dan kelak akan dapat membahagiakan kami semua.

Sakitnya Irfan membuat keluarga terutama ayah, begitu tertekan. Di pagi hari, tiba-tiba rumah kami dipenuhi sanak famili. Dan seorang tante membisikan ketelingaku bahwa Irfan sudah meninggal dunia. Seketika bumi sepertinya hendak runtuh dan aku menjerit histeris. Tak lama berselang mobil jenzah tiba, kulihat tubuh kakakku terbujur kaku.

Beberapa bulan sejak kepergian Irfan, ayah memutuskan untuk pindah tempat tinggal. Menurut ayah kenangan yang ada di rumah selalu mengingatkan ayah pada almarhum Irfan. Setelah menjual rumah dan tanah, ayah lantas mengambil pensiun dini dan mencoba menjadi pengusaha dengan membeli beberapa kios untuk berjualan. Namun usaha yang dirintis ayah tidak membuahkan hasil.

Lambat laun, keadaan ayah semakin melemah. Ayah yang semula kukenal sebagai seorang penuh dengan fitalitas dan semangat, saat itu mulai sering berputus asa. Ia selalu saja mengatakan jika Irfan masih hidup, mungkin kehidupan keluarga tidak akan seperti ini. Setelah itu beliau jatuh sakit. Saat diperiksa dokter yang merawatnya mengatakan bahwa ayah mengalami depresi dan tekanan mental yang luar biasa hingga di otaknya ditemui sesuatu yang ganjil.

Di saat keadaan yang serba sulit itu bertambah sulit saat kakak keduaku mengalami perilaku yang tak lazim. Ia mulai suka menyendiri dan bahkan berbicara sendiri, pergi pagi hari dan puang saat malam menjelang. Semakin lama tingkahnya semakin menghawatirkan, seringkali ia marah-marah tanpa sebab, berteriak dan menangis. Dan semua itu semakin memperparah keadaan ayah.

Dua tahun lamanya kami berjuang untuk kesembuhan ayah dan kakakku. Seringkali ibu harus mondar-mandir dari kamar ayah untuk menghiburnya, lalu ke kamar kakak untuk meredakan emosinya. Itu semua membuat keadaan ekonomi kami semakin hancur, karena ibu terpaksa harus mempergunakan tabungannya untuk keperluan sehari-hari dan pengobatan ayah serta kakakku.

Beberapa minggu kemudian, ayah akhirnya tak kuasa lagi memendam tekanan batinnya, beliau akhirnya menghebuskan nafasnya yang terakhir, dalam kematiannya yang begitu menyedihkan, ayah membawa luka hati karena menyaksikan anak keduanya mengalami gangguan jiwa dan aku hanya bisa menjerit histeris dan sekali lagi air mata ini mengalir deras membasahi seluruh jiwa yang lara.

Namun, hidup memang harus kami lanjutkan. Selanjutnya aku tumbuh menjadi remaja yang yang tak termotifasi dengan hal apapun. Kalaupun aku berkuliah, itu karena aku tak tega dengan ibu yang ingin melihatku berhasil dalam pendidikan. Itupun sering terganggu dengan keadaan kakak yang terus saja membuat ibuku susah bahkan tak jarang ibu menangis dan merintih teramat sedih, menahan beban hidupnya yang demikian pahit.

Dengan susah payah aku mencoba berkonsentrasi menyelesaikan kuliahku. Kadang-kadang aku harus meminjam uang dari teman-teman untuk membayar kembali mata kuliah yang harus kuambil ulang, karena uang kuliah yang diberikan ibu seringkali kupakai untuk hal-hal yang tidak semestinya.

Dan aku harus menerima resiko dari apa yang telah aku lakukan. Satu persatu teman seangkatanku lulus dan mendapat pekerjaan dan aku tertinggal dengan hutang-hutang yang harus aku bayar. Aku hanya bisa memohon kiranya Tuhan memberiku kekuatan agar aku mampu melewati cobaan demi cobaan.

Perlahan-lahan mulai nampak jalan terang. Untunglah Tuhan masih memberiku jalan. Aku mencoba meneruskan usaha yang dirintis ayah dan juga memberikan les privat buat anak-anak tetanggaku, dan mulai mengumpulkan uang hingga aku bisa membayar hutang dan melunasi cicilan uang kuliahku. Dan akupun berhasil menyelesaikan kuliahku walau dengan hasil yang pas-pasan.

Semakin hari aku semakin sadar bahwa hidup tanpa Tuhan adalah kebodohan dan aku lebih baik mati daripada hidup jauh dari Tuhan. Aku yakin bahwa keberhasilanku mengatasi permasalahan hidup adalah juga karena kuasa-Nya. Aku merasa selama ini tak pernah mensyukuri apa yang telah aku dapatkan, padahal masih banyak orang yang lebih menderita dari aku, Dan kini aku sadar, bahwa Tuhan telah memberiku banyak anugerah yang tidak aku sadari.

SUMBER:perempuan.com

No comments: