Monday, November 07, 2011

Filosofi Anak Panah

Ibarat anak panah. Mundur selangkah untuk maju, melesat seribu langkah. Bila Anda seorang Muslim, Anda tentu memahami kerasnya larangan agama bila seorang prajurit lari dari perang. Haditsnya jelas. Tetapi bila dalam keadaan genting, terdesak, maka mundur untuk memasang dan mengatur strategi menjadi hal yang sangat dianjurkan. Saya mengibaratkannya anak panah. Bila ingin dilepas, Anda harus menariknya mundur. Setelah itu lepaskan genggaman tangan Anda dan lihatlah hasilnya.. Betapa jauh anak panah itu melesat. Walaupun mungkin tidak mengenai sasaran yang dibidik, tetapi ia lebih dekat dari mangsanya. Contoh yang lain. Bila seorang siswa ingin bertarung dengan ujian sekolahnya, maka ia harus mempersiapkan amunisinya jauh hari sebelumnya. Ya, belajar. Hasil belajar adalah amunisi yang paling diandalkan untuk memerangi soal-soal ujiannya. Kita memang perlu bahkan sangat butuh mempersiapkan segala sesuatu; fisik mental, dan sebagainya untuk menghadapi kejadian-kejadian yang tidak terduga di depan mata kelak. Bila mendung, langit gelap, awan tebal, bersiaplah basah kuyup bila tidak memakai paying atau menggunakan mantel untuk melindungi tubuh dari kerasnya hujan yang mengguyur. Mundur selangkah... Ada banyak rintangan pada semua fokus mimpi-mimpi kita. Rintangan itu akan senantiasa menghambat laju langkah kita. Pasti. Hanya para pecundanglah, dan orang-orang yang kerdil jiwanya dan bermental plastik yang akan menyerah pada keadaannya. Kalah. Angkat tangan. Bahkan mungkin angkat kaki. Para petarung sejati menatapnya dengan optimis. Bila bercita-cita, mereka melakukan persiapan yang matang untuk menghalau hambatan-hambatannya. Bila kalah, bila jatuh… mereka bangkit lagi. Mereka mundur untuk mengevaluasi kekeliruan-kekeliruan sikap dan tindakannya. Ada repetisi. Ada semangat kompetisi yang membakar jiwanya. Anda tentu mengenal Albert Einstein, J.K. Rowling, Kolinel Sanders, dan orang-orang populer lainnya. Mereka adalah manusia-manusia bermental baja. Kesuksesan yang diraihnya tidaklah digapai dengan mudah. Mereka terjatuh dan bangkit kembali. Mereka tidak pernah menyerah pada musuhnya yang digelari kemalasan. Mereka menatap masa depan penuh optimis. Penolakan, sifat acuh, cacian, gelar-gelar tak terhormat, bukan lagi hal baru dalam hidup mereka. Mereka tumbang dan bangkit lagi. Pada prinsipnya, mari kita melangkahkan kaki selama masih hidup. Bila terjatuh, bangkit kembali. Karena mimpi-mimpi itu hanya diraih oleh orang yang bangun dari tidur lelapnya. Bekali diri, bangun sikap optimis, dan tingkatkan antusiasme berkompetisi positif dalam kehidupan ini. SUMBER:Aswar - kulinet.com

No comments: