Sebagai seorang yang berlatar belakang pendidikan Sarjana Komputer, dan sempat bekerja selama delapan tahun lebih di dunia IT, tentunya dulu aku lebih mengakrabi ‘benda mati’ dibandingkan manusia. Server, PC, Networking, dan kumpulan code-code bahasa pemrograman, menjejali pengalaman ku selama bertahun-tahun. Baru setelah sebuah sentuhan dari hobby motret yang kemudian menjadi salah satu profesi, manusialah yang kemudian menjadi objek utama yang harus selalu –mau tidak mau- mendominasi kepala dan hati.
Sejauh ini pengalaman bertutur betapa objek manusia yang luar biasa unik ini, begitu kaya baik akan misteri maupun pencerahan. Sehingga sampailah aku pada sebuah kesimpulan, bahwa manusia adalah guru sekaligus murid bagi manusia lain.
Tersebutlah seorang wanita yang bagiku demikian unik. Bukan karena ia adalah adalah client ku, tetapi lebih karena wanita itu adalah seorang atheis.
“Saya atheis”, akunya ketika pertama kali bertemu, sembari menunggu reaksi dari ku. Merasa yang ditunggu tak kunjung muncul, wanita itupun berkata, “eergh…tak ber-TUHAN”.
Ia menatapku penuh selidik. Aku tersenyum.
“Terus kenapa ? Apakah itu masalah bagi orang yang terdaftar sebagai anggota dalam milis Atheis ?”, tanyaku.
Kini ganti ia yang tersenyum.
“Tapi saya tahu Anda bukan Atheis”, katanya kepadaku.
“Ya memang saya bukanlah seorang Atheis. Pikiran dan hati saya tidak mampu menafikan keberadaan NYA”, aku menatapnya dalam-dalam,” Tetapi sebagaimana TUHAN memberikan kebebasan bagi siapapun untuk mengasihi atau membenci, mengakui ataupun mengabaikan Nya, sayapun akan melakukan hal yang sama kepada Anda atau siapapun itu berkaitan dengan sikap mereka terhadap TUHAN”.
Itu pertemuan pertama kami. Dalam pertemuan selanjutnya tersingkaplah bahwa sebenarnya ia kini berstatus sebagai ‘mantan’ atheis. Rupanya baru saja ia mendapat pencerahan tentang keberadaan TUHAN.
Sebagaimana dunia korporasi yang seringkali mempekerjakan para pimpinan diluar bidang / kompetensi perusahaan tersebut. Tujuannya ? mendapatkan wawasan yang fresh dan sudut pandang yang sama sekali lain. Begitu juga dengan mantan atheis ini. Berbicara tentang TUHAN dengan seorang ulama, pendeta atau pandita memang merupakan sumber yang benar untuk mengenal TUHAN lebih dalam. Namun ternyata berbicara tentang TUHAN dengan seorang mantan atheis, justru menjadi tak kalah lebih mencerahkan.
“Kallo persoalan rejeki saya nggak neko-neko”, sambungnya,”sepengas ihan-NYA saja”
(sepengasihan = seberapa dikasih oleh TUHAN)
“Saya juga tak pernah meminta panjang umur”, katanya, “saya hanya meminta kesehatan. Saya tidak mau panjang umur, tapi ujung-ujungnya menyusahkan orang lain. Baik karena perbuatan yang merugikan ataupun karena menjadi beban bagi orang lain”
Sederhana tapi menarik, sementara banyak dari kita yang berdoa membabi-buta demi panjang umur, hanya karena kita takut mati dan merasa selalu kurang dalam mereguk kenikmatan hidup ?
Tanpa pernah sedikit berpikir tentang ‘apakah kita memang layak hidup’ atau ‘apakah hidup kita ini berguna untuk orang lain’ sehingga kita berhak meminta bonus panjang umur dari TUHAN.
Kalau boleh jujur, jangankan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam, jangan-jangan bagi orang-orang terdekat kita, suami, istri, anak, orang tua ataupun teman, kita lebih dari sekedar persoalan, bahkan sebuah musibah !
Sementara identitas : menjadi rahmat bagi semesta alam -yang merupakan takdir kita- hanya sekedar slogan cantik, yang pada prakteknya ternyata sangat jauh panggang dari api. Kita mengambil, merampas, memperkosa apa saja dan siapa saja demi kepentingan diri kita sendiri. Hanya supaya kita menang, puas dan sukses, persetan dengan apakah itu ternyata merugikan orang lain (semesta alam).
Jika itu benar, sepertinya kita harus lebih punya malu untuk berdoa, pada saat ingin berangkat tidur, bekerja atau doa-doa jenis apapun, terutama ketika kita berulang tahun. Supaya jangan pertambahan hari-hari kita tidak membawa rahmat bagi siapapun, namun justru membawa bencana bagi orang lain (semesta alam).
Kalau seorang mantan atheis saja, cukup tahu diri untuk meminta pertambahan umur, seharusnya kita-kita yang mengaku dan merasa beragama sejak dari kandungan ini jauh lebih tahu diri dari mereka. Itupun jika keagamaan kita tidak hanya tersimpan dalam dompet pada selembar kertas keras berlapis laminating bernama KTP
ditulis oleh Made Teddy Artiana, S. Kom
dari milis motivasi
No comments:
Post a Comment