SELESAI meeting, Ratno pun berpamitan. Hasil yang menggembirakan. Klien
setuju dengan proposal yang diajukan timnya. Jabat tangan erat menghangatkan
malam yang basah. Pertemuan di restoran itu pun usai. Semua tersenyum
senang. Ratno ingin segera pulang, dia teramat letih.
Namun kemana Yadi? Sopir kantor yang sedianya siap di halaman parkir. Lagi
pula restoran ini tidak memiliki area parkir yang luas. Hanya muat enam
hingga delapan mobil. Semestinya, Avanza hitam ada di sana. Ratno menengok
ke kiri dan ke kanan. Tak kelihatan. Sampai akhirnya dia pun memencet tuts
ponselnya. Yadi, sopir kantornya pun menjawab akan segera kembali dalam
waktu lima menit.
Lima belas menit berlalu, tak terlihat lampu mobilnya masuk. Ratno kian
gelisah. Sempat terpikir untuk naik taksi saja ke kantor. Tapi niat itu
urung karena mobil Avanza hitam sudah masuk ke halaman parkir. Ratno yang
kesal langsung masuk mobil, dan hampir menumpahkan kekesalannya, bila Yadi
tak segera menyambut dengan senyum dan permintaan maaf.
Mata Ratno menoleh sesuatu. Di kursi depan teronggok satu bungkus plastik
berwarna hitam. Rupanya itu yang membuatnya datang terlambat. Tercium bau
sate menusuk hidung dari bungkus plastik tersebut. Sepuluh tusuk sate daging
ayam masih terasa hangat. "Buat ibu saya pak, tapi ngantrinya lama banget,
maaf ya pak," kata Yadi sekali lagi.
Yadi pun berkisah tentang ibunya yang sudah tua dan susah menemukan selera
makannya. Nah, biasanya dengan menu sate ayam seperti ini dia mau makan. "Biasanya
lahap," kata Yadi lagi. Si Ibu yang kini tersisa. Ayahnya sudah lama wafat.
Ibu dan ayah mertuanya pun demikian.
Ratno tak mau bertanya banyak lagi. Pikirannya berkelana ke mana-mana. Kalau
saja sate yang dibelikan Yadi untuk ibundanya ditaruh di mobil, sudah pasti
akan dingin begitu sampai di rumah. Pertama, dia harus mengantarkannya
pulang ke rumah. Lalu Yadi kembali ke kantor untuk mengembalikan mobil.
Setelah itu Yadi masih harus menempuh perjalanan belasan kilometer dengan
sepeda motornya. Sudah pasti jadi anyep nasib sepuluh sate itu. Di mobil ini
saja, sate itu sudah ditiup pendingin udara.
"Pak Yadi, AC-nya dimatikan saja. Dingin banget, saya juga pengen merokok."
Sebenarnya dia ingin agar sate yang dibawa Yadi tak begitu dingin. Begitu AC
di matikan, Ratno membakar rokoknya.
Dalam asap yang tersembur, pikirannya tiba-tiba melayang pada ibunya yang
sudah sepuh di sudut kota Jakarta. Sudah lama dia tidak menyambangi ibunya
itu. Kesibukan pekerjaan dan berbagai problema yang harus dihadapinya sering
kali membuatnya lupa untuk sekadar meneleponnya.
Tiba-tiba sebungkus sate daging ayam Yadi menohoknya. Yadi, yang
penghasilannya tak seberapa bila dibandingkan dirinya, berusaha mati-matian
menyisihkan uangnya untuk membeli seporsi sate ayam. Sedangkan dirinya? Dia
nyaris melupakan semuanya tentang ibunya, perempuan yang melahirkan dan
membesarkannya dengan segala suka dan dukanya. Dia tahu ibunya sangat
menyukai roti bakar yang katanya selalu menjadi makanan romantis bersama
suaminya yang telah wafat beberapa tahun silam.
Ratno membatin. Dia mengambil ponselnya untuk menelepon rumah ibunya. Sayang
tak ada jawab. Bik Ummi, wanita yang setia menemani ibunya juga pasti telah
terlelap. Tak lama setelah melewati pertigaan, Ratno pun menyuruh Yadi
menghentikan mobilnya. Padahal jarak ke kantor masih jauh.
Ratno menyuruh sopirnya langsung ke kantor. "Nanti Pak Yadi kemalaman sampai
di rumah." Dia sendiri memilih meneruskan perjalanan dengan menggunakan
taksi. Betapa indahnya hidup Yadi, yang teramat menyayangi ibunya.
Tak lama kemudian, Ratno menyetop taksi. Di kursi belakang taksi berwarna
biru itu, dia menahan haru dan perasaaan bersalah. Sebuah janji dicatat
dalam hatinya, akhir pekan ini dia akan mengunjungi ibunya. Bersama dengan
anak dan istrinya.
ditulis oleh Sonny Wibisono
dari milis motivasi
No comments:
Post a Comment