Pada awalnya saya menyangka bakat saya banyak sekali. Tapi baru ketahuan bahwa bakat saya ternyata sedikit sekali. Kapan saya merasa memiliki banyak bakat dan kapan saya merasa sedikit bakat ini adalah tahapan yang menarik untuk dielaborasi. Saya mulai dari yang pertama, etape perasaan banyak bakat.
Etape ini muncul terutama ketika minat saya kepada sesuatu luas sekali. Saya merasa ingin menjadi tentara, musisi, penyanyi, pelukis, kartunis,penulis... dan banyak lagi minat yang datang silih berganti. Di etape ini, saya bukan cuma merasa ingin, tetapi juga merasa bisa. Setiap soal yangsedang saya minati, rasanya saya berbakat sekali dan itulah satu-satunya pilihan hidup yang saya minati. Rasanya di dunia, tak ada yang lebih menarik di luar soal yang sedang saya minati ini.
Melihat tentara yang gagah dengan seragamnya, itulah satu-satunya profesi yang paling saya ingini di dunia ini. Seluruh bayangan, impian, mainan dan cita-cita hanya tertuju ke satu arah saja: tentara. Tetapi alam membimbing saya dengan caranya sendiri: tinggi tubuh saya. Mulai SMP berhentilah tinggi badan itu dan saya menjadi remaja yang cekak secara anatomi. Saya mulai gelisah. Begitu gelisah saya pada soal ini sampai kesibukan saya terbesar hanya mengurus soal tinggi badan dan mengubur begitu saja kegairahan saya menjadi tentara. Malah kini, bekasnya senoktah pun tak ada.
Tak cuma tentara, seluruh profesi dan cabang pekerjaan yang memakai syarat tinggi badan langsung saya hapus dari daftar keinginan. Sedih pasti. Tetapi pelajaran pertama saya dapatkan: bakat bukanlah selalu menyangkut soal yang kita minati. Penuh minat tak selalu ekuivalen dengan penuh bakat. Pengalaman berikut menegaskan tesis ini.
Lepas berminat jadi tentara saya ingin menjadi penyanyi dan musisi. Bahkan untuk belajar gitar saya sanggup menjadi murid siapa saja dengan syarat apa saja. Termasuk diajak untuk menenteng gitar guru saya itu ke mana pun dia pergi. Siang malam saya bergitar dan bernyanyi. Panggung-panggung pertunjukan dari kampung ke kampung saya datangi. Pentas seni di sekolah menjadi panggung yang mendebarkan hati. Tak ada yang keliru dari cita-cita ini. Semua terasa baik-baik saja. Semuanya kemampuan rasanya tersedia, kecuali kesempatan saja yang belum tiba. Untunglah kesempatan itu tak pernah benar-benar tiba sehingga saya berkesempatan meninjau ulang persangkaan terhadap bakat saya ini.
Baru ketahuan sekarang ini, bahwa bakat saya di bidang musik berbanding terbalik dengan bayangan: yang lebih besar ternyata bukanlah bakat sebagai pemusik tetapi bakat saya sebagai pendengar. Intuisi saya sebagai pemusik tak sebaik intuisi saya sebagai pendengar. Tetapi ada suatu keadaan, ketika menjadi pemain lebih saya minati ketimbang sebagai pendengar. Inilah periode yang menurut saya adalah sebuah tahapan yang penuh derita. Yakni meminati sesuatu yang keliru tanpa kita tahu, sampai alam sendiri yang kelak memberi tahu. Celakanya, cuma sekadarpemberitahuan itu, membutuhkan waktu tertentu, dengan salah pilih di sana-sini, salah duga di sini dan sana. Tapi pelajaran kedua ini menegaskan soal yang sama: bakat itu lagi-lagi tidak selalu terletak pada apa yang kita suka.
Karenanya, perasaan merasa berbakat itu, adalah jebakan yang berbahaya. Inilah perasaan yang akan menyedot seluruh minat, seluruh konsentrasi, seluruh keyakinan untuk hanya tertuju ke satu arah saja. Pada arah lain, saya bukan cuma cenderung tak berminat tapi malah juga sinis dan meremehkan. Seluruh nasihat yang mendorong untuk membuat rekreasi sudut pandang, apalagi anjuran yang meminta berpindah ke lain jurusan tak akan mendapat gubrisan. Inilah kenapa banyak sekali orang yang suaranya fals, tetapi selalu semangat menyumbang lagu di setiap panggung hiburan. Besarnya energi orang ini untuk mengagumi suaranya sendiri sampai mengubur kesadarannya untuk sekadar memahami betapa buruk suaranya itu.
Dalam beberapa hal ini jugalah yang saya alami. Jika pertunjukan vocal group saya di SMA itu direkam dan diputar ulang, saya pasti lebih memlilih membakar kasetnya ketimbang harus menontonnya. Dan dunia yang membuat saya kini tersipu-sipu itu adalah dunia yang dulu membuat saya terobsesi. Astaga, betapa berbahaya, terobsesi untuk soal-soal yang keliru.
Tapi lagi-lagi soal yang keliru di sana dulu itu, adalahsoal yang kekeliruannya baru terasa setelah saya sampai di sini, sekarang ini. Pada saatnya, saya sama sekali tidak memiliki kesadaran apa pun tentang betapa keliru tempat saya itu. Semua tempat yang sedang saya minati saat itu, betapa pun keliru, adalah tempat yang begitu ingin saya huni. Jadi Kerabat Imelda, bakat itu, ternyata adalah sebuah proses jatuh bangun. Keunikan itu, juga sebuah proses yang terakumulasi. Tidak ada bakat yang tiba-tiba menjadi. Tidak ada keunikan yang terbentuk tanpa oplosan di sana-sini. Ia bagian dari sikap akumulatif tanpa henti. Semakin akumulatif Anda, semakin uniklah Anda. Keunikan sayadi hari ini, pasti hasil dari larutan minat saya menjadi tentara, musisi, penyanyi, kartunis, penulis, pembicara publik, dan entah sebutan apa lagi yang sedang menunggu di depan nanti.
Maka berakumasilah tanpa henti, agar keunikan Anda semakin menjadi-jadi!
SUMBER:Prie GS - andriewongso.com
No comments:
Post a Comment